Minggu, 27 Februari 2011

LOVE

MENCINTAI ORANG YANG SALAH DENGAN CARA YANG BENAR ADALAH LEBIH BAIK DARIPADA MENCINTAI ORANG YANG BENAR DENGAN CARA YANG SALAH

Sabtu, 26 Februari 2011

BLOG

Musti dikuasain ini,..banyak pilihan Aplikasi nya,..Keren Euy,..!!!!

Nge-BLOG

Yukkk,..yakkk,..yukk,....

13 Wajah Cantik, Versi-ku

13. RISTY TAGOR : Cute banget kan, apa lagi lihat matanya,...wedew....




 12. KADEK DEVI, ampun dah,.. alis matanya itu,..wow,...



11. SARAH MICHELE GELLAR, yang satu ini, mukanya seh agak HOT kali yah,..hihihi,...






10. KAJOL DEVGAN, paling suka lihat Ekspresi wajahnya pas film "My Name Is Khan"






9. ASMIRANDAH, yang gak sepakat, periksa mata sana,..hehehe,...




8. SALMA HAYEK, wajahnya tuh kayak gimanaaaaa gituuu,....Huhuhuhu,...




7. JI HYUN JUN, masang ekspresi apa aja, tetap Cute,....








6. ANGELINA JOLIE, most amazing and hot Lip, I Ever See,....



5. LUNA MAYA, huufftt,..seandainya gak ada tuh Skandal Video,.....










4. PREETY ZINTA, Lesung Pipit nya,..Hedeh,.. Ampun,.....





3. MARIA SHARAPOVA, Paduan kecantikan dan Kekuatan,...




2. DREW BARYYMORE, Soooooo Cuuuteeeeee...!!!!






1. KIRSTEN DUNST, yang ini jagoan ku,... Wajah yang Ademmm,.. Huumm,.....





Kalau ada Cewek yang ngerasa mirip salah satu dari ke-13 orang ini,... mau gak di Lamar ma aku..??

Hehehehehehehe,....

Jumat, 25 Februari 2011

DESAIN PANTAI, FLORES - NTT

Design Site Pantai di Flores - NTT
  -------------------------------------------------------------------------------




Desain Kursi Pantai, Flores - NTT
  -------------------------------------------------------------------------------



 Menara Pantai di Flores - NTT

-------------------------------------------------------------------------------

Hedeh

Abis pindah-pindah Notes dari Facebook ke Blog,...
Hehe,... Asyikan maen Blog ternyata,..uitss...

1990 - 1997 (Part II)

Suatu waktu Kerajaan Laut dan Kerajaan Darat berseteru, hal yang menyebabkan terjadinya bencana luar biasa di Bumi kala itu. Laut dan Darat berupaya untuk saling mengklaim dan menguasai teritorial masing-masing. Daratan berupaya penuh untuk menimbun memenuhi lautan dengan unsurnya, dan demikian pula sebaliknya, Lautan dengan amarahnya berupaya memperluas wilayahnya dengan membanjiri daratan. Ketika alam semakin porak poranda, maka datanglah keajaiban tersebut. Dengan segala keindahannya, Pantai hadir menjadi penengah, mempesona Kerajaan Darat dan Kerajaan Laut, mengikis amarah diantara keduanya, dan dengan kelembutannya yang abadi mengukir panorama alam yang menenangkan.
___________________________________________________________________

PANTAI YANG TERKUBUR

Dua tahun berselang setelah kami menetap di Kota Bau-bau, aku pun semakin terbiasa dengan lingkunganku yang baru. Memulai pergaulanku dengan anak-anak disekitar tempat tinggalku dan membangun kembali dunia masa kecilku yang lain.

Penduduk dilingkungan kami juga cukup Heterogen yang memadati salah satu pusat Kota. Berada diantara Pelabuhan dan Pusat Perdagangan (Pasar Sentral) kompleks kami menawarkan jenis aktivitas yang sedikit berbeda, yakni didominasi oleh Permukiman dan Jasa Perhotelan/Penginapan (tentunya termasuk yang kami tempati). Sebut saja Hotel Liliana, Hotel Deborah, dan penginapan dengan Office Boy terbaik (It's me) saat itu Baitul Mall. Sehingga orang-orang asing banyak berseliweran disekitar kami, sebagian besar merupakan pedagang dari luar daerah.

Hanya berjarak beberapa puluh meter, melalui dua kelokan jalan ke arah selatan, Selat Buton akan menyambut dengan Pantai dan Lautnya yang tenang. Diapit oleh dua pelabuhan utama pada saat itu, Pelabuhan Murhum disebelah Barat dan Jembatan Batu disebelah Timur, Buton Beach dengan hamparan pasirnya yang sederhana dan bercak-bercak tumpahan minyak pelumas dari beberapa bangkai kapal karam mengahadirkan pemandangan tersendiri. Menurut orang-orang (sebagian diantaranya para ahli) tempat kami sangat strategis menjadi pelabuhan transit, oleh karena perairannya yang cukup teduh. Selain karena berhadapan dengan selat Buton, pelabuhan-pelabuhan ditempat kami juga memiliki beberapa pulau pelindung, termasuk Pulau Muna dan Pulau Makassar (Catatan : Pulau Makassar disini yang dimaksud berbeda dengan Kota Makassar yang merupakan Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan itu, melainkan sebuah pulau kecil yang pada jaman Kesultanan merupakan tempat pengasingan sisa-sisa pasukan Makassar yang kalah dalam pertempuran dengan Kesultanan Buton). Oleh karenanya, hampir sepanjang waktu, perairan ditempat kami senantiasa tenang dan menjadi tempat berlabuh banyak kapal-kapal dagang.

Kembali pada Buton Beach (tempat yang kemudian jarang diketahui orang), ditempat ini aku dan kawan-kawan baruku sering menghabiskan sore hari. Aku, Adi Kurus, dan Deden seringkali bermain sepanjang sore hari, meskipun saat itu belum ada satu pun diantara kami yang mampu berenang. Karena itulah, sebenarnya bermain ditempat ini berada diurutan teratas daftar larangan dari orang tua kami. Tentunya, kawan-kawan sekalian dapat mengerti bahwa untuk anak-anak seusia kami, resiko tenggelam merupakan ancaman yang cukup besar. Namun dengan menjunjung tinggi semboyan "Nenek Moyangku Seorang Pelaut", maka tempat ini merupakan tujuan utama kami setiap kali ada kesempatan. Dan untuk mengantisipasi kemungkinan diketahui oleh pihak berwajib (orang tua dengan segala ancaman hukuman yang mungkin akan dijatuhkan) maka kami pun selalu mandi dan bermain air dalam keadaan telanjang bulat (demi sopan santun, please jangan dibayangkan). Setelah puas bermain, dengan badan menggigil kami akan mengeringkan tubuh sebelum mengenakan kembali pakaian kami. Sebenarnya jika sedikit teliti, kulit dengan bercak garam, mata merah, dan rambut yang lembab akan menggugurkan alibi baju kering dibadan tersebut. Namun nyaris tidak pernah sekalipun aku dihukum karena bermain dipantai, entah karena tidak ketahuan atau mungkin karena selalu saja aku pulang dalam keadaan selamat.

Jika dipikir lagi, sebenarnya hanya sedikit permainan yang dapat dilakukan d Pantai Dangkal ini, selain berpura-pura lomba renang dengan kaki menjejak sekuat tenaga dan tangan menghentak-hentak tanpa tujuan, kami terkadang berusaha melakukan penelitian kecil-kecilan mengenai habitat kepiting yang hidup liar ditepi pantai.Selain menaburkan ampas kelapa untuk memancing hasrat si kepiting menunjukkan diri, acap kali kami juga menggunakan cara-cara yang lebih ramah yakni menggali lubang tempat tinggal sang kepiting dengan menggunakan tempurung kelapa. Jika bosan, maka perahu yang ditambat diperairan yang dangkal akan menjadi tujuan kami selanjutnya. Disni kami akan memulai perang antara bajak laut kapten hook melawan peter pan yang banyak diisi adegan berbahaya gerakan melompat kedalam air dengan gerakan membuang diri. Yah, hal-hal seperti inilah yang banyak mengisi hari-hari kami.

Malam harinya, tempat ini akan sangat ramai dikunjungi oleh muda-mudi yang memadati tenda-tenda penjaja minuman sarabba dan beraneka macam gorengan. Awalnya, pedagang disini merupakan hanya beberapa pedagang kaki lima yang mendapat bantuan dari Bank Rakyat Indonesia (terlihat dari logo BRI yang terdapat pada rombong dan tenda PKL) namun kemudian semakin ramai dari waktu kewaktu. Kami sering pula duduk-duduk ditempat ini untuk memperhatikan muda-mudi yang entah mengapa senantiasa menggenggam tangan satu sama lain dan berbicara sangat dekat dengan kuping masing-masing bahkan sekali-sekali hingga menyentuh telinga atau pipi, sungguh kelakuan yang aneh. Terkadang kami juga mencoba merangkai gugusan bintang-bintang menjadi pola tertentu, seperi formasi kepiting, atap rumah, atau layang-layang sambil tidur-tiduran diatas perahu yang ditambat.

Demikianlah waktu terus berlalu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun berganti.., tahun-tahun berikutnya. Bahkan meskipun kami telah pindah dari kompleks ini, beberapa kali aku menyempatkan diri bermain ke tempat ini.

Pada awal tahun 2003, sebuah project pembangunan Kawasan Publik memilih tempat ini sebagai lokasi pembangunannya. Pembangunan Ruang Publik yang kemudian dikenal dengan nama "Pantai Kamali" ini dibangun diatas lahan yang merupakan reklamasi dari Buton Beach.

Reklamasi yang menggusur habitat para kepiting, menyingkirkan bangkai-bangkai kapal karam, dan mengubur sejumput kenangan masa kecilku...

PANTAI KAMALI, DAHULU DIKENAL DENGAN SEBUTAN BUTON BEACH

1990 - 1997 (Part I)

Saat manusia mulai dinilai dari prestasinya, maka pada saat itu juga masa kecil itu terambil. Bukankah target dan pencapaian adalah milik mereka yang dewasa. Dan benarlah kiranya jika banyak yang mengatakan bahwa kedewasaan bukanlah usia melainkan pilihan. Pilihan yang kita jatuhkan ketika kita memutuskan untuk memikirkan penilaian orang, pilihan yang kita jatuhkan ketika kita memutuskan akan menjadi apa kita kelak, pilihan yang kita jatuhkan ketika kita memutuskan untuk menjalani semua konsekuensi dari apa yang kita putuskan. Dan kita tidak pernah tahu, kapan kita menjadi dewasa...
____________________________________________________________

KAMAR GELAP KEDIAMAN BARU

Aku melihat lampu berwarna merah, kuning, dan hijau ketika pertama kali menjejakkan kakiku di Kota Bau-bau. Bukan lampu pengatur lalu-lintas, melainkan lampu-lampu hias ruang tunggu pelabuhan. Kami tiba saat mentari belum menyingsing, meskipun semburat fajar telah tersamar dikejauhan. Udara yang berhembus pastinya begitu dingin, namun hawa panas dari pengapnya Kapal yang kami tumpangi masih terasa disekujur tubuhku. Dan kami segera beranjak menuju kediaman kami yang baru di Kota ini, berjejal dengan segala barang bawaan kami dalam sebuah angkutan umum. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya sekitar beberapa ratus meter. Bangunan tersebut adalah sebuah penginapan milik Kantor Ayahku, Baitul Mal namanya. Dan untuk sementara (selama empat tahun lamanya) kami akan menjadikan tempat ini sebagai rumah kami sekaligus mengelola tempat ini.

Secara umum, bangunan ini terbagi atas dua bagian. Bagian depan terdiri atas sebuah ruang tamu yang juga berfungsi sebagai lobby, dua ruang kamar tidur VIP, empat ruang kamar tidur medium, dan sebuah ruangan tengah yang cukup luas dimana terdapat sebuah pesawat telepon dan televisi. Sedangkan bagian belakang merupakan bangunan berlantai dua, yang terdiri atas beberapa kamar yang memanjang, dimana kami akan menempati bagian bawah, sementara lantai atas tetap berfungsi sebagai ruang tamu kelas ekonomi. Diantara kedua bangunan utama ini, terdapat sebuah ruangan yang berfungsi sebagai dapur umum, sumur bor dan tempat mencuci pakaian, kamar mandi, dan tempat terbuka yang didifungsikan sebagai tempat untuk menjemur pakaian.

Kami menempati lima dari enam ruang kamar yang memanjang pada bagian bawah. Sedangkan sebuah ruangan dibiarkan begitu saja. Belakangan aku baru tahu dari ayahku bahwa ruang kamar tersebut memang tidak boleh ditempati. Entah kenapa ruangan tersebut dibiarkan terlantar begitu saja. Beberapa kali ayahku memasang lampu untuk sekedar memberi penerangan, namun hanya dalam beberapa hari, kamar itu kembali gelap dengan sendirinya. Bahkan meskipun pada siang hari kegelapan senantiasa melingkupi ruangan ini. Kami pun menyebut ruangan ini sebagai Kamar Gelap. Namun demikian, kecuali lampu penerangan yang tidak pernah bertahan lama, sepertinya tidak ada yang mistis dari ruangan ini, setidaknya itulah yang aku rasakan. Aku bahkan menjadikan tempat ini sebagai tempat penyimpanan rahasiaku. Tempat untuk menyembunyikan mainan-mainan yang tidak ingin ku bagikan dengan adikku.

Sebagai putra sulung dalam keluargaku, sedikit banyak aku telah diajarkan tanggung jawab sejak dini. Aku telah beri pemahaman bahwa kami tinggal dengan menumpang pada rumah ini, sehingga kami harus senantiasa menjaga kebersihan dan kelangsungan penginapan ini. Meskipun pada tahun-tahun pertama aku belum begitu memahami apa yang dimaksudkan oleh ayahku, namun tidak butuh waktu lama bagiku dalam menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarku, dan hal yang pertama ku sadari adalah "kami merupakan pengelola tempat ini dan tamu adalah raja".

Dua tahun berselang, aku telah terbiasa menerima tamu di Lobby, yang kebanyakan adalah teman sejawat ayahku dari daerah lain dan bertugas sebagai Kepala Urusan Agama. Aku bahkan cukup dekat dengan beberapa di antara beliau, seperti Pak Fachri yang merupakan KUA Kec. Poleang dan Pak Djamaluddin yang merupakan KUA Kec. Tomia. Mereka bertugas pada kecamatan-kecamatan lain, yang terpisah pulau dengan tempat kami. Sehingga, setiap awal bulan, mereka harus menyebrang ke Kota Bau-bau sekedar untuk mengambil gaji mereka. Acapkali mereka membawakan sesuatu untukku sebagai oleh-oleh jika mereka berkunjung, kebanyakan berupa kue gula kelapa atau buah salak.

Aku terkadang juga bertugas membersihkan ruangan kamar jika para tamu hendak check in atau baru saja check out. Demikian juga dengan pembayaran biaya penginapan. Ketika itu tarif bagi penyewa umum untuk Kamar VIP seharga Rp. 5000, Kamar Medium seharga Rp. 2.500 , dan seharga Rp. 1.500 untuk kamar ekonomis per malamnya. Sedangkan bagi Pegawai Negeri Departemen Agama dikenai tarif Gratis atau seikhlasnya. Hasil dari tarif penginapan ini digunakan untuk memenuhi biaya operasional penginapan, pemeliharaan, dan sebagian dimasukkan sebagai kas Baitul Mal.

Beberapa kali kami juga menerima kunjungan para padagang dari luar daerah. Kebanyakan dari mereka menjual obat alternatif, dan jika sedang menjajakan dagangannya juga mempertunjukkan kemampuan atraksi sulap atau menunjukkan hewan-hewan buas peliharaan mereka, untuk menarik minat pembeli. Ibuku selalu melarangku untuk bergaul dengan orang-orang ini, kata ibuku mereka bisa saja menculikku atau mengajariku hal yang buruk. Sekali waktu, karena penasaran, aku mencoba beramah tamah dengan salah seorang diantara mereka. Dan benar saja, orang itu kemudian membawaku ke kamarnya dan bermaksud mengajariku cara memegang Ular Phyton peliharaannya. Baru saja mengeluarkan Ular Phyton tersebut dari petinya, aku langsung berteriak dan lari tunggang langgang demi melihat besarnya ukuran ular tersebut. Ibuku langsung meminta orang itu pergi, meski telah menerima begitu banyak permintaan maaf dan penjelasan bahwa ia tidak bermaksud buruk dan ular tersebut telah sangat jinak. Aku sedikit merasa bersalah, karena ku pikir rasa takutku lah yang menyebabkan itu semua, dan lagi orang itu telah menjadi langganan kami sekian lama. Tapi aku memang terlalu takut saat itu.

Sekali waktu kami juga kedatangan tamu dari Korea Selatan yang kebetulan pemandunya adalah kenalan pamanku. Mereka sungguh ramah dengan kemampuan bahasa Indonesia yang jauh dari baik. Seringkali mereka hanya mengucapkan "Haro, bore minda boiling water buat masa mie" dan kami pun mahfum jika mereka ingin meminta Air Panas untuk memasak Mie. Ketika meninggalkan penginapan kami, mereka memberiku sekarton Mie dari Korea dan beberapa kaleng minuman Coca Cola. Ayahku lantas melarang kami mengkonsumsi mie tersebut karena khawatir memiliki kandungan babi, sedangkan minuman tersebut telah sempat ku sembunyikan dalam kamar gelap.

Pernah juga kami menerima kunjungan seorang petualang bernama Tukimin yang berasal dari Lampung. Ia bermaksud menjelajahi Indonesia dengan berjalan kaki. Rambutnya panjang dan wajahnya sungguh garang dengan mata sipit serta kumis dan jenggot yang menjuntai. Namun ia sungguh ramah dan murah senyum. Kata ayahku dia memiliki kemampuan khusus melebihi manusia biasa. Ia tinggal sekitar sebulan bersama kami sebelum melanjutkan petualangannya. Beberapa bulan kemudian ia mengirimkan sebuah edisi koran yang memuat gambar dan kisah petualangan dirinya mengelilingi Indonesia dengan berjalan kaki.

Dari kehidupan kami mengelola penginapan inilah aku mendapatkan banyak pelajaran dengan bertemu banyak orang. Hal ini juga sedikit banyak mempengaruhi kepribadianku dan mengikis sifat pemalu dan kikuk saat bertemu orang asing.





to be continued...

1985 - 1990 (Part IV)

Ketika kita meninggalkan sebuah gerbang waktu, dan bersiap memasuki gerbang waktu lainnya, akankah semua ikhwal kehidupan kita sebelumnya lantas menjelma menjadi nostalgia begitu saja. Kemudian tersimpan dalam ruang waktu yang sulit untuk dihirup lagi aromanya. Atau karena keinginan untuk terus bergerak majulah yang membuat sirnanya kenangan itu.
Bagaimana jika sesungguhnya manusia dapat berdiri pada satu bagian kehidupannya saja, bagian yang terindah dan terbaik, akankah manusia memilih untuk menetap. Sepertinya tidak, karena kita tidak pernah tahu, bagian mana dari kehidupan kita yang terbaik. Hingga akhir itu tiba, dan waktu berpaling dari kita.
______________________________________________________________

DAN SENJA PUN BERLALU

Tahun 1990, Ayahku pindah tugas ke Kota Bau-bau. Ketempat yang ketika itu harus ditempuh selama 18 jam perjalanan menyebrangi Laut. Maka, untuk beberapa saat figur Ayah lenyap dari kehidupan kami. Terkadang, jika sewaktu-waktu Ayahku kembali, aku bahkan merasa asing berada didekatnya.
Selebihnya, semua berjalan seperti biasa. Mungkin sedikit peningkatan dosis kenakalan kedua kakak sepupuku saja yang memberikan warna lain. Mereka telah duduk di Bangku SMP saat itu, dan seperti kebanyakan remaja pada masanya, adrenalin menjadi pertimbangan utama dalam mengambil keputusan. Ditambah lagi sosok Bruce Lee yang didaulat sebagai idola mereka pada masa itu. Tidak hanya sekali mereka berdua pulang dengan baju sobek dan muka lebam. Bahkan insiden pertikaian sedarah pun kerap terjadi dirumah. Beberapa kali mereka berdua berduel sengit menggunakan segala peralatan rumah (meskipun kebanyakan hanya dengan sapu ijuk) ditengah histeris ibu, nenek, dan bibiku. Paman biasanya bertindak tegas, bahkan sangat tegas, jika keduanya sedang terlibat masalah. Pernah suatu kali tangan mereka ditindih dengan kaki bangku, dan diduduki olehnya sebagai hukuman mereka. Namun, remaja tetaplah remaja.., dan semua terus berulang.
Dirumah aku hidup dengan duniaku sendiri. Mengingat rentang usia yang demikian jauh, maka aku bukanlah bagian dari pergaulan kedua kakak sepupuku. Ibu, Bibi dan Nenekku juga disibukkan oleh adikku yang ketiga yang belum genap setahun dan adik perempuanku yang manja bukan main. Demikian juga semenjak Anjing Peliharaan Keluarga Putu menjadikan diriku salah satu targetnya, aku pun kehilangan koneksi dengan tetanggaku itu. Meskipun demikian, kekuatan imajinasi memberikan tempat bagiku untuk membagikan kesepian ini. Aku memilih menjalin hubungan persahabatan dengan buku gambar dan pensil berwarna, menyatukan visi kami dan mewujudkan dunia yang baru. Tidak hanya gajah dan jerapah, beberapa ekor burung hantu, ayam, dan macan bergabung bersama kami. Jika jenuh dengan semua itu, sebuah televisi hitam putih menawarkan sajian lainnya, gambar yang dapat bergerak dan bersuara. Meskipun harus menanti hingga pukul setengah empat sore untuk dapat menikmati sajian televisi, namun telah cukup memberikan setengah jam yang terbaik bagiku. Ya, setengah jam durasi sajian kartun anak-anak yang diberikan oleh televisi pemerintah kala itu. Sesudahnya, rutinitas berganti dengan mandi sore, dibedakin, lalu diganjar dengan sepotong besar Kue Pisang Goreng, dan duduk-duduk di kursi rotan diteras rumah melihat pamanku memberi makan ayam-ayam peliharaannya. Hampir selalu seperti itu.
Seingatku aku tidak pernah merasa bosan dengan semua itu. Atau memang seusia itu, kita belum mengenal perasaan bosan.
Sesekali aku diajak oleh kedua sepupuku, sepertinya bukan karena kasihan melihatku sendirian, tetapi sebagai alat tukar dengan kebebasan mereka dari semua tugas rumah. Terkadang aku dilibatkan dalam permainan mereka, sebagai jago yang mereka usung, dalam permainan mengadu anak-anak yang mereka ciptakan. Atau menjadi pengawas keamanan, ketika mereka menerobos pabrik kasur dan melakukan entah apa. Suatu kali aku sedang memperhatikan seekor katak saat ketiga penjaga pabrik datang, dan mereka pun tertangkap basah. Keluar dengan tubuh penuh kapuk dan rambut acak-acakan yang dijambak, mereka terlihat mengerikan. Saat pulang mereka berjalan meninggalkan aku jauh sekali, seakan aku tidak berguna dan memang demikian kenyataanya.
Lalu pada suatu pagi ayahku telah ada bersama kami. Aku tidak lagi disiapkan untuk pergi bersekolah seperti biasanya meskipun hari itu bukan hari libur. Kesibukan memenuhi setiap ruangan dalam rumahku. Baju-baju yang terlipat, peralatan rumah tangga, koper, tas dan kardus-kardus besar berjejalan diruangan tengah. Televisi hitam putihku juga telah bergabung dalam tumpukan besar itu. Aku duduk bersama adik perempuanku, masing-masing ditemani segelas teh manis dan sebungkus biskuit oleh-oleh dari ayahku. Sementara Ibu, Bibi, dan Nenekku bergantian memasukkan barang-barang kedalam tempatnya masing-masing. Aku melihat seluruh pakaianku, pakaian adikku, dan beberapa lembar peralatan sholat disesakkan dalam sebuah koper. Aku tidak bertanya, sedang asyik menghabiskan biskuitku dan juga biskuit adikku pada akhirnya (setelah merebutnya sekuat tenaga). Kami akan segera pindah, berangkat mengikuti ayahku ke Bau-bau. SK permohonan pindah tugas ibuku telah disetujui, dan ijasah sekolah TK ku juga telah selesai diurus. Hanya beberapa persiapan saja sebelum kami benar-benar berangkat keesokan harinya. Aku tidak tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu, sepertinya semua biasa saja.
Dan akhirnya siang itu kami telah berkumpul di Pelabuhan. Kapal Motor Imalombasi telah menanti dan barang-barang juga telah dinaikkan. Aku hanya sedikit tersedu ketika kedua kakak sepupuku memelukku dalam tangis, juga pamanku. Mereka tetap di Kendari karena harus melanjutkan study. Lalu aku pun meniti ke atas Kapal. Sebuah kapal kayu dengan dilengkapi mesin motor yang cukup besar, lantai dua.
Aku hanya sesaat memandangi hiruk pikuk dan juga lambaian banyak orang ketika kapal dengan perlahan meninggalkan pelabuhan. Buaian ombak dan teriknya siang membuatku lelah. Akupun akhirnya terlelap, tak lagi menanti senja yang ku sukai,...


***


SEBAIT PUISI SENJA

Senja yang menyambutku terlahir
Senja yang menemaniku bermain
Senja itu merona di Tanukila
Bersatu dengan Kumandang Adzan

***

To Be Continued....

1985 - 1990 (Part III)

Hanya ada wajah-wajah ceria.., dan semua orang menatapmu penuh kasih. Ketika menginginkan sesuatu, cukup dengan meminta, maka semua akan memberi yang terbaik. Tidak ada resah akan hari esok, akan beban hidup dan keinginan untuk menjawab tantangan dunia. Hanya pada masa kecil, semua terlihat sempurna, wajar dan apa adanya. Andai waktu tak perlu beranjak maju, atau sekedar kembali sejenak, menghirup energi positif dari miliaran perhatian dan perlindungan.

________________________________________________________________

GAJAH BERTARUNG DENGAN GAJAH, PELANDUK MATI DITENGAH-TENGAH

Menangis.., itu yang ku lakukan hampir setiap pagi, ketika ibu ku membangunkan aku dan menyeretku ke kamar mandi. Memandikanku dengan tergesa-gesa, mengeringkan badanku, dan memakaikan seragam putih hijau. Aku telah duduk di bangku TK, kelas nol besar (untuk penamaan ini sebenarnya saya kurang setuju, seakan-akan seorang anak Indonesia tidak memiliki bakat atau kemampuan apapun..., bayangkan, Nol Besar..!!! sungguh merendahkan). Rambutku dilumuri tancho, milik pamanku, disisir kesamping persis seperti bapak Harmoko, Menteri Penerangan yang kesohor itu. Setelah dipaksa memakan sepiring bubur putih yang diberi santan, kami menyebutnya bubur santan, aku dan ibuku harus berjalan 200 m untuk menyetop angkutan umum, jarak yang sangat jauh menurutku. Dan ini harus ku jalani setiap pagi, kecuali hari minggu tentunya, oleh karena ibuku yang mengajar sebagai guru SD, tanpa seijinku, memasukkan aku ke TK Lepo-lepo yang jaraknya setengah jam perjalanan menggunakan Pete-pete (sebutan angkutan umum di Kendari). Sementara ayahku yang juga pegawai rendahan, bekerja pada Kantor Pemerintahan yang arahnya berlawanan. Jadilah aku dan ibuku sehari-harinya berangkat pagi-pagi buta. Kadang jika terlalu cepat, setibanya di sekolah, hanya ada aku dan penjaga sekolah, sementara ibuku harus ke Sekolah Dasar tempatnya mengajar yang jaraknya masih sekitar 50m dari TK ku...

Aku menjalani masa-masa di sekolah TK ini selayaknya anak-2 lain pada umumnya. Bergembira, bernyanyi-nyanyi, berbaris, berolahraga, menggambar, mengeja huruf yang di gambar sebesar kertas A4, dan lain sebagainya. Membaca termasuk yang paling ku senangi, karena aku yang terbaik dalam hal ini..,hehehe... Dari sekian banyak teman semasa TK aku hanya bisa mengingat Rudi dan Yono, keduanya sering menemaniku bermain bertiga setelah jam pelajaran usai dan ibuku terlambat menjemput. Hanya saja sepertinya sekarang tidak mudah mengenali wajah keduanya. Seingatku Yono berambut ikal (sepertinya berasal dari Jawa) dan Rudi rambutnya seperti landak, tajam dan berdiri tegak juga bermata sipit.

Pada hari Sabtu tibalah saatnya makan-makan. Setiap anak diharuskan membawa bekal dari rumah. Ditaruh didalam Kotak makanan dan dilengkapi sebotol minuman. Setelah senam pagi, makanan baru boleh di santap. Aku lupa bentuk dan warna kotak makananku, tetapi botol minumanku berbentuk robot, berwarna abu-abu, dengan kepala robot sebagai tutup botol dan antena yang juga berfungsi sebagai sedotan. Hari Sabtu juga hari yang tepat untuk menunjukkan eksistensi, tentunya dengan bersaing bekal siapa yang paling nikmat, kotak makanan siapa yang paling bagus, botol minuman mana yang paling unik, dan lain sebagainya. Meskipun biasanya, hal yang ditonjolkan yang itu-itu saja. Terkadang ada juga yang membawa mainan barunya, mobil-mobilan, robot, dan sebagainya. Hanya untuk ditunjukkan, atau dipinjamkan pada teman-teman dekat saja. Yang lain, boleh melihat dalam batas jarak aman yang ditentukan. Hari Sabtu sungguh hari yang menyenangkan.

Pada hari sabtu ini juga pertama kali aku ditunjukkan sesuatu tentang dunia. Bahwa setelah dewasa nanti, persaingan akan semakin besar, dan pertaruhannya juga semakin gila. Manusia dapat saling menyakiti, demi terpenuhinya tujuan pribadinya sendiri. Hari itu Aku, Yono dan Rudi sedang bermain didepan sekolah, jam pelajaran telah berakhir, dan ibuku belum datang menjemput. Tiba-tiba saja terdengar teriakan dan beberapa orang lelaki remaja berlari kearah kami. Sepertinya mereka sedang tawuran, sesuatu yang sangat sering terjadi ditempat kami.., tawuran massal antar Lorong, mungkin terinspirasi adegan-adegan film Action Mandarin yang saat itu sedang jaya-jayanya. Terperangkap ditengah-tengah perkelahian, kami hanya bisa menangis dan berteriak-teriak. Tidak ada yang dapat ku ingat dengan jelas. Yang pasti saat itu aku bertabrakan dengan seorang remaja yang sedang berlari, aku terjatuh, dan lutut kecilku terinjak olehnya, sakitnya bukan kepalang, aku menangis semakin keras. Lalu si penjaga sekolah datang dan mengevakuasi kami bertiga yang ketakutan, aku dipanggul, Yono mengikutiku, dan Rudi berlari pulang ke rumahnya.

Singkat cerita, aku pun pulang bersama ibu ku, lututku sepertinya patah, terlihat membengkak dan luka memar. Ayahku murka, ibuku bingung, Paman dan Kakakku juga bingung, aku menangis lagi, ketakutan dan kesakitan. Sorenya aku langsung di bawa oleh ayahku pada seorang dokter. Dokter Tani namanya, seorang spesialis anak. Lututku di periksa dengan seksama, namun sepertinya tidak ada yang patah atau retak, hanya urat yang keseleo. Ayahku pun memutuskan untuk membawaku pada seorang tukang pijat. Sebelumnya kami singgah di sebuah toko kue. Ayahku membelikan sekantong roti yang besar-besar, berbentuk bulat, berwarna putih bersih dan hangat. Belakangan baru ku ketahui, kalau itu adalah Kue Bakpao. Cukup manjur untuk menyenangkan hatiku.Ketika dipijat sakitnya minta ampun. Gigitan pertamaku pada bongkahan roti itu, bertahan hingga proses pengobatan tradisional ini selesai, tidak mampu ku lanjutkan, apa lagi menelan. Sungguh menyiksa..., aku menangis hingga ketiduran. Pengalaman yang buruk.

Aku ingat beberapa kali ibuku juga membawaku ke sekolah tempatnya mengajar. Dan murid-muridnya menyambutku dengan antusias, seorang anak ibu guru yang lucu dan imut. Beberapa diantaranya mencoba menyapaku, juga mengulurkan salam, memandangku dan tertawa-tawa, aku bersembunyi di balik rok ibuku (jujur saja waktu kecil dulu aku sangat pemalu kawan). Biasanya aku dibawa masuk kedalam kelas, menunggu ibuku selesai mengajar. Sering kali aku didudukkan diatas meja, dan diingatkan untuk tidak bergerak agar tidak terjatuh, juga diharuskan diam sehingga tidak mengganggu ibuku mengajar. Jadilah aku duduk membisu sepanjang waktu, seperti patung yang ditaruh diatas meja namun dengan mata yang terus memandang keseluruh ruangan kelas, mengawasi dengan malu-malu. Untuk yang satu ini ibuku sering menceritakannya setelah aku dewasa, dan karena sangat penurut ibuku makin sering membawaku ke dalam kelasnya.

Dan hal yang paling indah dalam kenanganku adalah ketika hari anak nasional. Aku didandani dengan pakaian adat, lengkap dengan pedang kecil yang terbuat dari kayu dan dilapisi kertas emas, buatan tangan ayahku. Berjalan dalam barisan bersama anak-anak lainnya menuju Kantor Gubernur. Disana akan diadakan upacara dan penyerahan hadiah. Aku salah satu diantaranya yang akan menerima hadiah itu, buah dari prestasiku menyabet juara harapan satu lomba lukis. Aku didampingi ibu dan Kepala Sekolah TK ku. Pada saat menerima hadiah, kami ditanya tentang cita-cita kelak setelah besar, dan dari Juara satu hingga juara harapan dua, termasuk aku, kelimanya menjawab jika besar akan menjadi seorang pelukis. Pulang dari event Hari Anak Nasional ini, kami ke Studio Photo. Aku dipotret dengan pakaian adat lengkap. Salah satu photo koleksiku yang terbaik. Potret seorang anak yang patuh, dengan senyum yang kikuk dan sorot mata yang polos.

1985 - 1990 (Part II)

Tahun 1985 hingga tahun 1990 merupakan masa kecil yang ku lalui di Kota Kendari. Satu yang selalu terasa adalah suasana senja, yang entah mengapa, dimana pun aku merasakan suasana senja, selalu terbawa akan berbagai kenangan masa kecil ku di Kendari.

Meskipun samar, namun memmory yang terekam dari penggalan-penggalan masa kecilku, menjadi bagian yang membangun sebagian dari kepribadianku kelak, dan bahkan beberapa diantaranya terus menerus hadir dan lantas menjadi bagian yang tidak hilang bahkan ketika aku sudah Akil Baligh (sebuah kejadian masa kecil membawa trauma tersendiri hingga saat ini).

_____________________________________________________________

ANAK TANNUKILA

Tannukila merupakan nama jalan tempat rumah kami berdiri. Lorong Tannukila kata orang berarti tanduk yang berkilat (di beberapa daerah di Sulawesi, Tanduk Kerbau merupakan salah satu barang berharga, seperti halnya Taring Babi di Papua atau Gading di Flores). Lorong Tannukila merupakan salah satu kawasan yang berkembang cukup pesat.

Dirumah kami yang sangat sederhana, aku dibesarkan dengan penuh kegembiraan. Entahlah, namun sepertinya tidak ada bayangan kesedihan kala itu.., seingatku. Ayahku, Ibuku, Aku, Adik Perempuanku, Bibi (kakak dari Ibuku), Om Mesran (adik ibuku), Nenek (juga dari ibuku), Kak Taufik dan Karni (dua kakak sepupuku yang telah bersama kami sejak masih kecil dan telah ku anggap sebagai kakak kandung) merupakan penghuni rumah ini. Kecuali kedua kakak sepupuku yang sering berduel untuk berbagai hal sepele, nyaris tidak ada keributan dirumah kami. Sungguh saat2 yang penuh ketenangan.

Kompleks kami merupakan kawasan yang sangat heterogen, dihuni oleh berbagai latar belakang suku, mulai Tolaki, Makassar, Bugis, Buton, Pulo, Muna, Toraja, Bali, dan Jawa. Demikian hal nya agama dan mata pencahariannya, sangatlah beraneka ragam. Namun demikian, warga kompleks kami sangatlah rukun. Seingat saya, dari beberapa kali terjadi insiden dengan kampung tetangga, pemuda-pemuda kompleks kami selalu bahu membahu, bergotong royong, dan bersatu padu, menyusun kekuatan untuk melakukan perlawanan (pada saat itu, hal-hal semacam ini merupakan tolak ukur kerukunan suatu kompleks/kampung). Bahkan dengan di Ketuai oleh Om Juri (Salah seorang warga yang berasal dari Toraja, merupakan salah satu pelatih Karate Propinsi saat itu) pemuda-pemuda kami membentuk sebuah perguruan Karate. Dalam kasus ini, kami yang kecil-2 berusia lima dan enam tahun hanya diajari dasar Karate beberapa menit, untuk selanjutnya diadu setengah jam kedepannya. Sungguh ku ingat keberanian (meskipun setelah besar baru terpikir bahwa itu sebenarnya kebodohan) aku, mamad, putu, usram dan aco, yang sangat gembira di pakaikan sabuk warna-warni kemudian berduel didalam lingkaran hingga salah satunya menangis. Kebanyakan aku dan putu yang sering menangis.

Dilorong ini pula aku mendapatkan pengalaman burukku. Siang itu, aku dipaksa tidur siang oleh ibuku, jadi aku pun dipaksa masuk ke kamar lantas dikunci dari luar kamar. Namun karena sangat ingin bermain dengan Si Putu yang rumahnya berbatasan pagar semak dengan rumahku, nekatlah aku untuk lompat melalui jendela rumah.

Tidak disangka..,seekor anjing peliharan keluarga Si Putu tepat berada disana. Mungkin karena terkejut, Anjing yang biasanya ramah itu pun menyalak gak karu-karuan, di serang kepanikan aku berlari sekencang-kencangnya bermaksud untuk masuk kerumahnya Si Putu, sial lagi.., Kawanan Si Anjing tadi yang berjumlah lima ekor, sedang bersantai ria dihalaman rumah keluarga Bali ini, langsung saja aku di kerubutin dengan gonggongan bising disana sini. Dunia tiba-tiba saja gelap, aku pingsan entah beberapa lama. Saat terbangun aku sudah berada di Rumah lagi, didalam kamar, dengan badan lemas dan ingatan yang buram. Berkat kejadian ini.., aku tidak pernah lagi bermain ke Rumah Si Putu, dan Trauma dengan Anjing, menjadi semacam phobia bagiku hingga saat ini.

Pernah juga suatu ketika Bencana Banjir melanda kompleks kami. Karena berada pada dataran rendah, sebagian besar lahan kosong di Kompleks kami senantiasa berubah menjadi Rawa/empang pada musim hujan hingga berbulan-bulan. Disinilah kami biasanya memancing ikan Lele, Mujaer, atau ikan Gabus. Bahkan kalau beruntung juga terdapat Ikan Mas, yang entah bibitnya berasal dari mana. Namun, jika curah hujannya terlalu tinggi, maka dalam sekejap, empang dan rawa-rawa tersebut meluap, menggenangi permukiman kami, hingga ketinggian satu setengah meter. Seingatku, ketika itu malam hari, dan permukaan air terus saja naik dan masuk kedalam rumah. Aku kemudian di panggul oleh pamanku dan kami sekeluarga harus mengungsi bersama seluruh warga. Keesokan paginya, setelah banjir surut dan kami pulang ke Rumah, seekor ikan mas yang cukup besar ternyata terjebak didalam rumahku. Maka diolahlah ikan mas tersebut menjadi ikan mas tumis yang lezat. Sungguh salah satu acara makan siang yang tidak akan terlupakan. Makan siang bersama, dengan perabotan basah disana-sini, lantai yang masih dipenuhi lumpur dibeberapa tempat, baju-baju kami yang basah, tubuhku yang kedinginan, namun senyum keluargaku tercinta yang menghangatkan hati dan jiwaku..,





...to be continued...

1985-1990 (Part I)

Setelah berjuang untuk terlahir diantara sekian Juta Sel Sperma, maka kita wajib mensyukuri nikmat kehidupan ini. Karena terlahir berarti kita dipercaya untuk bisa memberi warna dan makna dimuka Bumi ini. Terima kasih ya Allah Yang Maha Pencipta, menjadikan aku salah satu Khalifah-Mu di muka Bumi ini, tuntun aku untuk dapat menjalani hidup hanya di jalan yang Engkau ridhoi,...
_________________________________________________________________

THEN,... I WAS BORN


Aku terlahir pada hari Sabtu, 13 April 1985, kata orang2 saat itu telah mulai senja.

Menurut cerita, Ayahku sedang dalam perjalanan untuk menyewa angkutan umum karena pada saat itu Ibu ku telah merasakan hasrat ku untuk merajut kisah di Dunia.

Namun, ternyata aku tidak mampu lagi menunggu terlalu lama, sehingga terlahirlah aku dalam keadaan sehat wal afiat (Alhamdulillah, terima kasih ya Rabb), di Rumahku yang sederhana, pada suatu senja di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.

Ketika itu juga, Kakak Sepupuku Muhammad Taufik, berlari menyusul ayahku untuk memberikan kabar kelahiranku ini. Alkisah, demi mendengar kabar ini, Ayahku melompat kegirangan hingga setinggi Pohon Mangga (setelah bisa mengingat sesuatu, aku ditunjukkan pohon Mangga itu, yang ternyata tingginya sekitar 7 meter, entah pada saat itu sudah setinggi itu atau belum).

Betapa tidak, setelah mengarungi pernikahan selama lima tahun, barulah Ayahku mendapatkanku sebagai anak sulungnya.

Adapun namaku sendiri, ku dapatkan dari seorang Haji yang di minta oleh Ayahku untuk memberikan nama, namun nama Arie merupakan pemberian ibuku, yang menginginkannya sebagai nama panggilanku, hingga saat ini. Dan setelah ditambahi nama-nama silsilah nenek moyang, tersebutlah "Satriaddin Maharinga Djongki Maka Tiga" sebagai nama yang diberikan kepadaku. Satriaddin yang bermakna "Sang Pejuang Agama", sungguh suatu amanah yang cukup berat untuk ku emban, terima kasih atas nama ini.

Masih menurut cerita orang tua ku, saat usia dua bulan aku dibawa menyebrang pulau, dari Kendari menuju Buton, lalu menyebrang lagi Ke Tomia (Salah satu pulau yang indah dalam gugusan kepulauan Wakatobi), yang merupakan kampung halaman orang tua ku. Saat itu perjalanan masih menggunakan Kapal Kayu bermuatan maksimal 30 orang, dengan perjalanan selama dua hari dua malam.

Seiring berjalannya waktu, aku terus tumbuh, ditengah-tengah kasih sayang orang-2 disekitarku. Dua tahun berselang adikku terlahir. Namun, tidak ada yang jelas ku ingat dari kejadian ini, secara, waktu itu aku masih berusia dua tahun lebih.

Aku telah mulai membaca ketika berusia empat tahun lebih, seingatku, saat itu yang ku baca adalah skripsi pamanku Mesran Usurani, yang berjudul "Po Asa-asa Po Hamba-hamba", ini adalah tulisan pertama yang masih ku ingat hingga saat ini. Bahkan pamanku sendiri juga terkejut karena sebelumnya aku hanya diberi bacaan kanak-kanak serupa majalah Bobo dan Donal Bebek.

Usia lima tahun, aku kemudian dimasukkan ke sekolah Taman Kanak-kanak Lepo-lepo Kendari. Seingatku, aku selalu didandani rapi dengan rambut membelah kesamping, dan disisir dengan minyak tancho hijau yang tebal. Lantas, pada muka ku disapukan Bedak tebal merek Rita yang mewangi bak melati, sungguh matching dengan seragam putih hijau yang ku kenakan. Aku pun tergolong salah satu siswa yang berprestasi dan sering di ikutan lomba oleh TK ku saat itu. Kepala Sekolah ku, adalah Ibu Murnia (terakhir menjenguknya waktu masih SMA), merupakan sosok yang sangat keibuan.

Beberapa kali aku masuk RRI Kendari, untuk membacakan Puisi, Surah Al Fatihah dan Terjemahannya, serta beberapa lomba melukis tingkat propinsi. Masih ku ingat dengan jelas bahwa lukisan ku saat itu selalu berupa pasangan Gajah dan Jerapah ditengah-tengah padang rumput, dan ada sebuah pohon besar disekitarnya (kata ayahku itu adalah pohon asam), lalu awan dan matahari untuk menambah suasana alam, ada pun langitnya berwarna putih polos yang tidak lain latar kertas itu sendiri. Dalam suatu kesempatan aku mampu meraih juara harapan satu, dalam kelompok anak-anak, sungguh membanggakan, bahkan piagam nya masih ada di simpan rapi oleh ibu ku.



to be continued.....

Senin, 21 Februari 2011

ORANG INDONESIA YANG PEMARAH

Ketika kecil saya pernah percaya, bahwa orang Indonesia itu terkenal karena keramahannya. Dan saya bangga menemukan diri saya ternyata adalah orang Indonesia. Saya pun berusaha mendidik diri saya untuk menjadi orang Indonesia yang ramah itu. Menyapa orang lain dengan ramah, menghargai orang yang lebih tua, menjawab pertanyaan seseorang sembari tersenyum, melembutkan suara ketika bertutur kata, dan memilah ucapan ketika berdiskusi. Saya sangat berharap dapat menjadi representasi dari orang Indonesia yang ramah.

Lantas saya menemukan diri saya saat ini. Dan mungkin juga anda akan menemukan diri anda sendiri diseberang sana. Menjadi sedikit berbeda dengan alur kisah diatas. Kita tentu saja tetap orang Indonesia. Setidaknya KTP dan Domisili saya senantiasa konsisten berlabel warga negara Indonesia. Tetapi dimana keramahan yang dulu saya cita-citakan menjadi identitas saya? Sejujurnya, belakangan ini saya menjadi sedikit pemarah. Entah bagaimana dengan anda, saya justru berharap anda akan sama halnya dengan saya, menjadi seorang yang marah.

Biarkan saya mengingat sejenak, mengapa saya menjadi pemarah seperti saat ini. Mungkinkah karena melihat penegakan hukum yang tebang pilih dan sering kali di politisir? Mungkinkah karena melihat banyaknya rakyat miskin yang dirampas haknya dan tidak mendapat keadilan? Mungkinkah melihat gejolak PSSI yang mengkhianati aspirasi pencinta sepakbola seperti saya ini? Mungkinkah karena film Hollywood yang berkualitas itu akan sirna dari Bioskop Tanah Air? Mungkinkah karena kasus bernuansa SARA yang akhir-akhir ini semakin merebak? Mungkinkah karena biaya hidup yang semakin mencekik? Mungkinkah karena kasus Munir, Century, dan Gayus terpendam entah kemana? Mungkinkah karena idola saya justru bertindak Asusila? Entahlah, semua pertanyaan ini sangat mungkin membuat saya marah. Dan saya merasa kemarahan adalah bentuk emosi yang wajar untuk merespon kenyataan ini.

Lalu saya menemukan kemungkinan yang paling memungkinkan menjadi penyebab kemarahan saya. Mungkin saya marah, karena saya terlalu mencintai Bangsa Indonesia ini? Mencintai karakteristik Bangsa Indonesia yang ramah, yang sejak kecil telah terpatri dalam benak saya. Mencintai begitu berharga menjadi anak Bangsa. Dan lantas menjadi ironi ketika berhadapan dengan potret Bangsa saat ini.

Tetapi sejenak saya bertanya lagi. Apakah ingatan saya perihal karakter Bangsa Indonesia yang ramah itu benar adanya?

Bukan tidak mungkin bahwa sejak dahulu tidak ada yang namanya Ramah dalam kepribadian Bangsa Indonesia itu. Mungkin sejatinya bukanlah Ramah, tetapi Marah. Bisa saja saya telah salah mengejakannya. Atau si penulis karater bangsa Indonesia itu yang salah mengetikkannya.

Ramah atau Marah...??? Yang manakah karakter bangsa Indonesia sebenarnya?

Sepertinya lebih banyak orang Indonesia yang Marah ketimbang yang Ramah.