Selasa, 02 Desember 2014

BIARKAN SAJA KESEPIAN DATANG

Nikmatilah kesepian ketika sedang dalam pencarian, bukan setelah perjumpaan.

Ini jawaban saya suatu ketika, saat seorang sahabat menanyakan perihal kesepian kepada saya. Mencari pasangan hidup memang bukan sekedar saja bagi saya. Saya sendiri juga sebenarnya tidak betah terus sendirian dan berharap bisa menemukan seseorang yang bersedia menjadi tempat berbagi suka dan duka. Agar tidak kesepian, tentu saja. Tetapi kesepian bukanlah sesuatu yang begitu mengerikan.

Bagi saya, tidak mengapa jika kita merasa kesepian ketika sedang mencari sosok yang tepat untuk mendampingi hidup. Yang mengerikan justru adalah merasakan kesepian ketika telah menemukan pasangan yang kita pikir sesuai dengan harapan kita. Saya rela merasakan kesepian selama bertahun-tahun seperti sekarang, ketimbang merasa kesepian disaat sudah memiliki seorang pasangan dan dikaruniai tiga orang anak.

Mencari sosok yang sempurna tentu saja tidak mungkin. Semua manusia pasti ada kekurangan. Tetapi bagaimanapun juga, pasangan bukanlah hal yang sederhana. Dibenak saya, pasangan hidup adalah melebihi apapun juga dimuka bumi ini. Kawan, keluarga, karir, dan kedudukan bagi saya bisa datang dan pergi kapan saja. Tetapi ketika sekali saja dalam hidup berhasil menemukan pasangan yang tepat, maka pasanganlah yang akan menemani sepanjang usiamu. 

Saya selalu dibayangi ketakutan akan memilih sosok yang keliru. Sosok yang kamu cintai selama dua tahun pertama saat bersama. Tetapi lalu menghabiskan sisa usiamu bersamanya, terbangun saat pagi menjelang dengan dia berada disisimu, lalu terbersit satu pertanyaan dalam benak, "Kenapa saya harus setia dan merelakan hidup saya untuk dia?"

Orang tua akan pergi ketika usia tidak lagi berkenan. Anak-anak juga demikian, suatu saat mereka akan beranjak dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri. Kasih sayang dan kebahagiaannya mungkin akan tetap tinggal didalam ingatan. Tetapi siapa yang akan kamu peluk ketika mereka pergi? Kekasihmu.

Saya pernah punya sahabat yang sangat membenci pasangannya. Satu-satunya alasan dia tetap bertahan adalah anak-anaknya. Ini menyedihkan menurut saya. Saya belum berkeluarga dan belum pernah memiliki anak, tetapi ketika sahabat saya harus bercerita tentang kesepiannya bukan kepada orang menjadi pasangannya, saya merasa iba. Ia merasa sendirian, padahal ia memiliki pasangan dan anak-anak dalam kehidupannya.

Jadilah saya disini, menikmati kesendirian. Saya juga tidak tahu masa depan akan seperti apa. Akankah saya bertemu kekasih yang benar-benar bisa menjadi tempat berbagi. Atau menikahi seseorang yang dikemudian hari akan mengingatkan saya pada tulisan ini. Tetapi saya melihat banyak pasangan yang saling menyayangi hingga masa yang begitu lama. Orang tua saya salah satuya. Mereka saling mendukung dalam segala hal. Hidup mereka sulit (apalagi memiliki anak sulung kepala batu seperti saya), tetapi mereka saling memiliki satu sama lain. Saya belajar mengenai cinta dari mereka. Berharap mewujudkan cinta seperti yang mereka miliki. 

Jadi bukanlah perkara besar jika sekarang saya sendiri. Kesepian memang terkadang menghampiri. Tetapi biarlah kesepian itu memuaskan dirinya saat ini. Hingga suatu saat nanti, ketika senyumanmu hadir menyapa saat ku terbangun dipagi yang cerah, lalu terbersit satu pernyataan dalam benak, "Saya akan terus setia dan merelakan hidup saya untuk dia."



1 komentar:

  1. Aku pernah berpikir begini, after one failed marriage: apakah aku akan berakhir sendiri dalam sepi (ahzegh!)?

    Tapi saat pikiran kayak gitu datang, aku patahkan dengan: this is worth it. Saat ini aku sedang dipersiapkan buat yang layak diperjuangkan dan ditemani seumur hidup, dan dia sedang dipersiapkan agar layak mendapatkan dan menjaga aku seumur hidup.

    And you know the rest :)

    Mangat, Rie!

    BalasHapus