Sabtu, 15 Januari 2011

Game Online dan Gagalnya Desain Ruang Kreasi Perkotaan

Dua tahun terakhir ini, kehadiran Game Online telah demikian marak mewarnai perkembangan dunia Maya di Tanah Air. Berbeda dengan situs jejaring sosial yang juga sempat menuai kontroversi, Game Online secara vulgar menampilkan sisi hiburan dalam berbagai Genre yang ditawarkan. Mulai yang berupa First Person View hingga Game yang ber-genre Petualangan. Semua di kemas dengan tampilan artistik dan berbagai tingkat kesulitan. Disamping itu, berbeda dengan situs jejaring sosial yang menekankan tingkat usia sebagai salah satu syarat untuk mengaksesnya, Game Online cenderung tidak memberikan batasan apapun. Bahkan dalam salah satu Game Online tertera dengan jelas "semua umur dapat bermain Game ini". Pertanyaannya adalah, apakah game online ini sehat untuk dikonsumsi oleh anak-anak dibawah usia? Beberapa hal yang perlu diperhatikan disini adalah, acapkali content dari game online ini menampilkan tindakan kekerasan yang brutal, kemudian ikon-ikon yang dijalankan pun menurut pengamatan saya memiliki sisi pornografi meskipun cukup samar, dan yang terutama adalah sifat konsumtif dan adictive yang dihadirkan oleh game online ini.


Lantas tindakan apa yang dapat diambil untuk membendung tingkat konsumsi game online terutama bagi kalangan anak dibawah umur ini? Lalu apakah kaitannya dengan Tata Ruang Perkotaan terutama yang berhubungan dengan Ruang Kreasi?

Bermain game online tentu saja juga memberikan dampak negatif disamping efek hiburan yang mungkin didapatkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan bermain game online selama kurang lebih lima jam, maka dapat memberikan gangguan bagi kondisi psikis dan metabolisme tubuh. Belum lagi dampak ekonomi dan dampak sosialnya, dimana permainan game online merupakan bentuk pemborosan dan tindakan konsumtif serta dapat membwa seseorang untuk menjadi manusia yang asosial atau kurang peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Menutup usaha game online juga sesuatu yang sulit bahkan mustahil dilakukan. Sementara pengawasan terhadap penyalahgunaannya juga tidak dapat menjamin suatu solusi bagi meningkatnya konsumsi game online tersebut. Maka upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah pendekatan secara personal melalui dunia pendidikan dan dilingkungan keluarga. Selain itu tentu saja harus diberikan alternatif bagi aktifitas yang dapat mengisi waktu remaja maupun anak dibawah umur, sehingga tidak lantas terjerat dalam konsumsi game online yang bersifat adictive tersebut.

Sehubungan dengan wadah alternatif bagi aktifitas remaja dan anak-anak inilah, saya melihat adanya kegagalan dalam mendesain suatu ruang kreasi ditengah perkotaan. Tentu saja ruang publik yang selama ini diharapkan mampu menjadi meeting point bagi kegiatan sosial akan kalah jauh dimata remaja dan anak-anak jika dibandingkan dengan ruangan game online yang ber-AC dan menawarkan kenyamanan. Belum lagi keterbatasan ruang publik yang dapat dipakai secara penuh bagi kegiatan kreasi, atau bahkan dapat dikatakan nyaris tidak ada taman atau ruang terbuka yang khusus disediakan bagi kegiatan kreasi ini. Pertanyaan-pertanyaan yang lantas menggelayuti pikiran saya antara lain, berapa banyak lapangan olahraga, yang disediakan bagi anak-anak dan remaja? Seberapa besar akses yang diberikan bagi remaja dan anak-anak untuk menghabiskan waktu diruang publik semacam itu? Fasilitas apa yang mungkin dapat menarik minat remaja dan anak-anak untuk menghabiskan waktunya di Taman Kota atau ruang publik lainnya, ketimbang membuang waktu dengan game online? Atau bahkan pertanyaan, masih pedulikah kita terhadap fungsi sebagai jembatan sosial yang diemban oleh ruang publik?

Saya lantas teringat dengan masa kecil saya, betapa sulitnya untuk mendapat sebuah tanah lapang yang dapat kami jadikan tempat bermain bola. Semantara lapangan yang disediakan oleh pemerintah lebih sering dijadikan lambang supremasi pembangunan daerah, lantas dibumbui eksklusifitas dalam pemanfaatannya dan membuat kami harus mencuri kesempatan bermain di Area Pengeringan Jambu Mete dengan resiko dikejar oleh pemiliknya jika ketahuan bermain disana. Juga yang saat ini kita saksikan diberbagai taman kota, pengumuman "Dilarang Menginjak Rumput Taman", sehingga kita hanya dapat melintasi Pathways yang disediakan dan taman hanyalah menjadi pemandangan yang mungkin bisa diserupakan dengan sebuah gambar atau lukisan pemandangan alam. Beginikah cara kita menikmati sebuah taman?


Jika ruang publik yang kita sediakan tidak mampu menjadi ruang kreasi bagi remaja dan anak-anak kita, maka janganlah merasa gundah jika kemudian dunia maya dengan game online-nya mampu merebut hati generasi muda kita dalam membangun jatidiri dan kepribadiannya.