Selasa, 23 Juni 2015

PINDAHKAN IBUKOTA KE PAPUA

Sejak berganti era, dari Orde Baru menuju Reformasi, isu desentralisasi telah bergulir sedemikian rupa. Kesadaran masyarakat di daerah mengenai pentingnya penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan Otonomi Daerah menjadi tumbuh sedemikian rupa. Meskipun demikian, selama ini yang terlihat kebanyakan adalah lahirnya raja-raja baru di daerah dan perebutan tampuk kekuasaan politik yang terjadi secara menyeluruh dari Sabang sampai Merauke. Pembangunan di daerah sendiri kebanyakan dinomor duakan. Desentralisasi jadi sekedar basa basi. (Biasanya orang tepuk tangan kalo pas bagian seperti ini)

Dalam peringatan Ulang Tahun Kota Jakarta, saya berkesempatan hadir diacara Sebelas Duabelas yang dipandu oleh Pandji Pragiwaksono dan kami membahas sedikit mengenai proses desentralisasi ini. Bagi saya sistem desentralisasi itu harus menjadi antitesis sistem sentralisasi. Maka yang harus kita lakukan adalah menyentuh sumber penyakit langsung, Ibukota.

Ibukota harus dipindahkan dulu, baru proses desentralisasi bisa berjalan.

Selama ini kita sulit keluar dari sistem sentralisasi ini, karena semua sumber daya kita terpusat di Jakarta. Baik itu sumber daya alam, maupun sumber daya manusianya. Orang-orang terbaik kita banyak yang mengadu nasib ke Jakarta, meninggalkan daerah dengan segala permasalahannya. Lalu, kenapa tidak paksa saja orang-orang ini untuk bertahan di daerah. Kalau mereka punya itikad baik, mereka pasti akan bertahan dan membangun daerahnya masing-masing. Bagi saya ini tidak sesederhana itu, karena segala fasilitas yang mendukung juga adanya di Jakarta, menumpuk disini bersama semua kendaraan-kendaraan yang tiap hari kerja bermacet-macet ria disetiap sisi jalan Jakarta. Orang-orang yang punya kualitas ini, mau tidak mau harus berpacu di Ibukota untuk memaksimalkan potensinya.


Lantas apakah memindahkan Ibukota akan serta merta memuluskan proses Desentralisasi?

Semuanya butuh proses tentu saja. Tetapi pemindahan Ibukota ini akan menjadi langkah awal yang baik bagi proses desentralisasi. Menurut saya, dengan pemindahan Ibukota, tarikan pembangunannya juga akan berpindah. Fungsi yang diemban oleh Ibukota pasti akan menyeret fungsi-fungsi pendukungnya. Misalkan Ibukota kita pindahkan ke Jayapura, maka tarikan pembangunan akan datang dari Kawasan Timur Indonesia, arus barang dan jasa dari dan ke kawasan Indonesia Timur akan meningkat signifikan, kemudian kawasan Indonesia bagian tengah yang dilalui tentu saja akan kebagian imbasnya. Perlahan pembangunan akan merata dengan sendirinya. Masalah kesiapan, itu tentu saja bisa menyesuaikan. Yang penting keinginan dulu. Tol Laut yang dicanangkan Presiden Jokowi bisa menjadi urat nadi yang mengrahkan kita pada proses ini. Ya dengan catatan Tol Laut ini tidak sekedar menjadi wacana selama Pilpres. (Pak Jokowi, tolong diwujudkan itu Tol Laut, saya dulu pilih bapak karena ide ini loh)

Memindahkan Ibukota mungkin terdengar ekstrim. Tetapi menurut saya kita memang membutuhkan terobosan yang ekstrim untuk keluar dari kondisi stagnant seperti saat ini. Kita kasih pindah itu Ibukota ke Timur, lalu kita wujudkan Indonesia yang makmur, adil dan MERATA..!!! Asik ee,..

Menurut saya, logikanya kurang lebih seperti ini,

Untuk memindahkan sekawanan Lebah, pindahkan saja Ratu Lebahnya. Semua lebah pekerja akan mengikuti dan membangun sarang baru dan penuh madu.


Untuk memindahkan sumber daya manusia, pindahkan saja Ibukota Negaranya. Semua tenaga kerja terbaik dan fasilitas yang mendukung proses tersebut akan mengikuti lalu membangun pusat pertumbuhan baru dan menyebarkan kemajuan bagi kawasan disekitarnya.

Maka bagi saya, pemindahan Ibukota itu adalah wacana yang masuk akal untuk menjembatani pemerataan pembangunan. Seperti yang saya ungkapkan diatas Ibukota itu adalah sumber utama penyakit sentralisasi yang menggerogoti pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dinegara ini. Untuk menyembuhkannya, harus disentuh langsung disumberpenyakitnya yaitu Ibukota.
Nah, itu saja dulu omong kosong yang bisa saya bagikan sekarang. Semoga bisa menambah tumpukan hal tidak penting didalam benak kita semua.

Semoga jadi Ibukota Negara dimasa depan, Amien...






Jumat, 05 Juni 2015

KOMEDIAN SEBAIKNYA SENSITIF

Kemarin sempat memanas, kejadian Komika yang menuai protes dari seorang penyanyi karena dianggap mengeluarkan jokes yang merendahkan personilnya. Bagi saya ini adalah resiko yang bisa menimpa siapa saja yang memutuskan hadir di panggung komedi. Apakah sang penyanyi salah dan terlalu sensitif? Bagi saya tidak sama sekali. Adalah hak dia untuk merasa terganggu dengan apa yang terjadi di atas panggung. Apakah komediannya melakukan kesalahan? Bisa iya, bisa juga tidak. Karena roasting, adalah salah satu teknik yang dipelajari dalam komedi. Namun yang pasti, ketika sebuah konten komedi yang isinya bertujuan untuk menghibur, ternyata berbalik menjadi masalah untuk komediannya, menurut saya itu adalah bagian dari resiko yang harus diterima oleh komediannya. Kita tidak bisa serta merta menyalahkan orang lain terlalu sensitif ketika kita melakukan roasting terhadap mereka dan mereka sakit hati. Bisa saja itu memang kekeliruan komika dalam menempatkan posisi.

Saya mau coba sotoy, mengulas sedikit saja, karena ini berkaitan dengan teknik dalam melakukan Stand Up Comedy. Berdasarkan pemahaman yang saya pahami dari mempelajari komedi melalui Reggy Hasibuan, Ernest Prakasa, Pandji, Raditya Dika, Adriano, Ge Pamungkas, dan banyak komika yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu, ada beberapa hal yang penting untuk diingat ketika melibatkan orang lain dalam jokes yang kita sampaikan.

Dalam Stand Up Comedy, ada beberapa teknik yang digunakan saat kita melibatkan orang lain sebagai bagian dari materi kita. Diantaranya Riffing, Roasting, dan Ripping. Dalam pemahaman saya, Riffing, Roasting, dan Ripping ini berbeda tingkat intensitasnya ketika kita tujukan pada orang lain. Sehingga tidak setiap saat bisa digunakan.

Riffing, cenderung lebih aman dan halus. Kita melibatkan penonton atau lingkungan sekitar sebagai materi. Sedapat mungkin tidak begitu menyinggung perasaan mereka atau yang berkenaan dengan obyek yang kita riffing (meskipun untuk kebutuhan komedi memang unsur menjatuhkannya tidak dapat kita hindari). Riffing, benar-benar ditujukan untuk kepentingan hiburan semata. Resikonya cenderung kecil dibandingkan roasting dan ripping. Meskipun demikian, penting bagi komika untuk memahami resiko yang mungkin hadir ketika melontarkan jokes menggunakan riffing ini. Persetujuan obyek yang dijadikan materi riffing tidak begitu dibutuhkan, dengan pertimbangan bahwa komikanya harus cukup sensitif untuk menimbang materi yang dia lontarkan tidak akan menimbulkan masalah yang berarti. Just for fun.

Roasting, intensitasnya lebih tinggi dibandingkan riffing. Materi yang disampaikan memang menjadikan kelemahan obyek roasting sebagai bahan bakunya. Semakin menjatuhkan biasanya semakin lucu. Bisa juga memunculkan fakta-fakta tentang obyek tersebut lalu dibenturkan dengan kondisi yang kontradiktif sehingga bisa menimbulkan jokes. Bagi saya, ketika melakukan roasting ini, kita harus mempertimbangkan dua hal. Yang pertama, persetujuan dari obyek yang akan kita roasting. Ini penting, sebab ketika komika dan obyek roasting sudah sepaham, maka obyek roasting ini sudah tahu resiko apa yang akan dia hadapi sehingga kemungkinan muncul protes dari obyek roasting dapat diminimalisir. Yang kedua, sensitifitas komika dalam mengukur materi roasting yang dia lontarkan akan diterima sebagai sesuatu yang lucu bagi penonton, bukan sekedar cercaan. Jika cara menjatuhkan yang dilakukan komika terhadap obyek roastingnya berlebihan, kemungkinan penonton malah akan merasa kasihan pada obyek roasting yang akhirnya menyebabkan mereka tidak menertawakan jokes yang dilontarkan.

Ripping, adalah bentuk yang paling kasar dari komedi yang berhubungan dengan interaksi dengan orang lain. Unsur komedi menjadi pertimbangan terakhir, yang diutamakan adalah menjatuhkan sasaran ripping ini. Sangat jarang komika sampai harus melakukan ripping ini. Biasanya ini dilakukan jika ada orang yang menganggu jalannya pertunjukan dan kehadirannya membuat tidak nyaman bagi semua penonton yang ada. Biasanya menjatuhkan orang yang mengganggu ini, justru akan menghadirkan tawa dari penonton lainnya. Yang harus dipastikan adalah, penonton lain merasa terganggu dengan kehadiran dia sehingga perlu bagi komika melakukan ripping. Lagi-lagi komika dituntut untuk lebih sensitif menanggapi situasi yang terjadi. Tawa penonton yang hadir ketika kita melakukan ripping, menunjukkan persetujuan penonton terhadap apa yang kita lakukan.

Semua ini kembali lagi kepada sensitifitas komika itu sendiri. Meskipun demikian, sebagai komika kita mungkin suatu saat akan mengalami keseleo lidah yang menyebabkan orang lain tersinggung atas materi komedi yang kita tawarkan. Karena itu, komika sebaiknya cermat menempatkan posisi. Ketersinggungan orang lain, mungkin salah satu resiko pekerjaan yang wajib kita waspadai, selain tentu saja materi yang kurang lucu.

Itu saja seh yang bisa saya tuliskan dalam kesempatan ini
Semoga tidak ada gunanya sama sekali buat kalian yang membaca.
Semoga membaca tulisan ini, hanya menghabiskan waktu kalian.
Karena saya juga sudah membuang-buang waktu untuk menulis ini semua.

VIVA LA KOMTUNG..!!! LETS MAKE LAUGH..!!! SALAM SATU TAWA..!!!