Sabtu, 01 Oktober 2016

MARI MEMELUK PAPUA

BERHENTILAH MEMBANGGAKAN PARAS WAJAH DAN MELUPAKAN REALITA, BANGSA KITA INI SEHARUSNYA BISA LEBIH BAIK DARI ITU.

Alasan saya bereaksi keras dengan berita yang mengangkat statement diplomat cantik yang memberi tanggapan seputar isu HAM di Papua dalam Sidang Umum PBB, tidak lain karena saya mencintai Indonesia, saya Orang Indonesia, tapi dalam waktu yang bersamaan saya juga merasa punya tanggung jawab moral untuk Orang Papua, karena sebagai sesama Bangsa Indonesia, saya merasa hak-hak Orang Papua justru sedang kita kesampingkan melalui pernyataan itu. Enam Negara Pasifik tersebut hanyalah pemantik, sikap kitalah yang menentukan apakah kita memang benar-benar peduli dengan kondisi di Papua atau tidak.

Saya sepenuhnya tidak sepakat dengan apa yang disampaikan oleh diplomat cantik itu, terutama pada bagian yang menyatakan "Komitmen Indonesia terhadap HAM, tidak perlu dipertanyakan lagi", yang kemudian dilanjutkan dengan pembeberan fakta-fakta bahwa negara kita telah terlibat berbagai organisasi yang terkait dengan HAM dalam berbagai level baik di dalam negeri maupun level internasional. Keterlibatan negara kita dalam berbagai organisasi dunia itu tidak lantas menjadi pertanda keseriusan kita dalam menangani permasalahan HAM. Apalagi mengenai Papua, sedemikian banyak laporan tindak pelanggaran HAM yang sampai sekarang terus menerus terjadi. Yang paling terngiang adalah penembakan 4 orang warga di Paniai Papua. Dan tidak hanya menimpa warga sipil, kekerasan demi kekerasan juga terus menghantui aparat yang bertugas di Papua. Korban yang terus berjatuhan baik di pihak aparat hukum maupun sipil ini, apakah tidak perlu kita pertanyakan?

Tentu saja saya mengapresiasi dan mendukung sikap Diplomat Cantik kita itu yang tidak mau negara lain mencampuri urusan dalam negeri kita. Tetapi tentu saja tetap harus berdiri diatas kebenaran dan tujuan yang baik. Meskipun pada dasarnya urusan Hak Asasi Manusia itu tidak selayaknya dibatasi oleh wilayah teritorial. Jika ada hak-hak manusia lain yang tertindas nasibnya, maka di manapun kita berada tentu sebagai sesama manusia akan bersikap. Palestina misalnya, banyak negara diseluruh dunia yang juga menunjukkan sikapnya untuk mendorong pihak-pihak yang terkait dengan konflik kemanusiaan di Palestina agar segera menemukan penyelesaian. Bahkan termasuk Indonesia sendiri. Tapi tentu saja, pilihan komunikasi dalam menunjukkan sikap diplomasi mutlak di tangan perwakilan kita tersebut, termasuk Diplomat Cantik kita ini. Saya sepenuhnya mendukung itu.

Tetapi yang kemudian harus dipertimbangkan adalah dampaknya di dalam negeri. Bagaimana kemudian penerimaan publik kita sendiri terhadap pernyataan tersebut, utamanya saudara-saudara sebangsa kita yang berada di Papua. Banyak sahabat saya di Papua yang memprotes keras dan menyayangkan statement tersebut. DAN MEREKA BUKAN OPM, SEPARATIS, ATAU AKTIVIS DALAM ORGANISASI KEMERDEKAAN PAPUA MANAPUN, BUKAN. Mereka sama seperti saya, adalah orang yang peduli dan berusaha mengikuti perkembangan di Papua dari tahun ke tahun. Mengatakan pada masyarakat dunia," Komitmen negara kita terhadap permasalahan HAM tidak perlu dipertanyakan lagi", tentu saja tidak sejalan dengan kenyataan yang hari ini kita temui di lapangan. Banyak kasus pelanggaran HAM yang sampai sekarang tidak jelas ujungnya akan seperti apa. Apakah keterlibatan negara kita dalam berbagai organisasi Hak Asasi Manusia itu lantas dapat dijadikan keabsahan bagi komitmen negara dalam mengusut kasus HAM? Coba bawa jawaban Diplomat Cantik kita itu, disampaikan juga ke hadapan ibu-ibu dan bapak-bapak yang selama bertahun-tahun melakukan aksi kamisan di depan Istana Negara. Apakah mereka juga akan sepakat dengan Diplomat Cantik kita itu bahwa komitmen negara terhadap masalah HAM tidak perlu dipertanyakan lagi?

Statement tersebut, dalam kacamata saya terlihat sebagai upaya untuk menutupi, menafikkan, dan menyangkal adanya tindakan pelanggaran HAM di Papua. Dan menimbang fakta yang ada di lapangan, saya sepenuhnya menyadari keresahan kawan-kawan saya di sana. Lalu muncul tanggapan para netizen, "lihatlah Papua sekarang, pembangunan terus digalakkan, jangan lihat jeleknya saja dong, hargai usaha pemerintah". Ini tidak nyambung. Saya sangat mendukung dan menghargai upaya Presiden Jokowi dalam membangun infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur saat ini. Belum ada Presiden yang secara real peduli dan turun tangan langsung mengikuti perkembangan pembangunan di Kawasan Indonesia Timur seperti halnya Pak Jokowi, belum ada. Tetapi permasalahan HAM ini adalah hal yang berbeda. Banyak yang harus kita pertanyakan, banyak. Dan jawabannya bukanlah pembangunan infrastruktur. Itu dua hal yang berbeda.

Saya sebagai salah seorang rakyat Indonesia, memutuskan untuk mengambil posisi tidak sepakat dengan statement Diplomat Cantik kita itu. Kenapa? Karena saya jauh lebih peduli terhadap keutuhan NKRI daripada termakan provokasi 6 negara pasifik itu. Saya tahu pasti banyak yang terluka jiwa dan raganya di Papua dengan kondisi yang terjadi selama sekian tahun di sana. Aparat dan masyarakat sipil, keduanya adalah korban yang terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan di Papua. Hak Asasi Manusia mereka terancam dan terenggut selama bertahun-tahun. Banyak yang harus kita pertanyakan terkait isu HAM di Papua, banyak.

Statemen itu seharusnya melukai perasaan kita, jika kita benar peduli dengan isu HAM, tidak hanya di Papua, tetapi di Indonesia secara keseluruhan.

Khusus untuk Papua, saya merasa bahwa sebagai sesama anak bangsa kita sebaiknya jauh lebih peduli. Enam negara pasifik berbicara tentang Papua, kemudian negara langsung bereaksi keras. Tetapi ketika bangsa kita sendiri yang menyuarakan hal tersebut, lebih sering hanya menjadi angin lalu. Rekomendasi Tim Pencari fakta yang menyelidiki kasus-kasus pelanggaran di Papua saja sampai hari ini tidak jelas nasibnya bagaimana. Dari sekian banyak kasus yang direkomendasikan, tercatat baru dua kasus yang diajukan ke Mahkamah Peradilan. Masih banyak yang terabaikan. Kita tidak butuh negara-negara pasifik itu untuk mengingatkan kita, sudah seharusnya. Dengan catatan kita memang ingat dan peduli.

Saya ini bukan Orang Asli Papua. Tetapi saya mencintai Papua dengan segenap jiwa dan raga saya. Saya bersyukur bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia, sehngga sebagai rakyat Indonesia maka saya berhak untuk bahagia mencintai dan membanggakan Papua sebagai bagian dari bangsa saya. Saya merasa bahwa Papua adalah kepribadian saya juga. Menakutkan mengikuti perkembangan belakangan ini, yang menunjukkan semakin menguatnya dorongan dan pergerakan yang menginginkan Papua untuk bisa melepaskan diri dari Indonesia. Jika hal itu sampai terjadi maka saya adalah salah satu orang yang akan merasa sangat sedih dan kehilangan. Saya berharap akan bisa terus menjadi bagian dan membanggakan Papua karena kita memang sebangsa dan setanah air. Dan ini tidak bisa kita capai dengan mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dipertanyakan terkait masalah HAM di sana. Kita tahu pasti ada banyak luka di sana. Aparat dan Warga Sipil kita masih hidup dalam kekhawatiran dan saling curiga. Kita tidak boleh menutup mata dengan itu semua. Mari memeluk Papua dengan perasaan sayang. Mengaminkan bahwa memang ada banyak kesalahan masa lampau yang sampai sekarang belum bisa kita ungkap dan sembuhkan. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai berbagai insiden yang terjadi terkait dengan permasalahan HAM di sana.

Banyak kalangan masyarakat yang membanggakan kehadiran diplomat muda, perempuan, cantik, dianggap membungkam kepala negara lain. Bahkan tokoh sekelas Addie MS, yang saya tahu peduli dengan permasalahan Hak Asasi Manusia entah kenapa juga membanggakan Diplomat Cantik tersebut. Apakah tidak menyadari isi dari statement Diplomat Cantik tadi ini, juga mencakup pengingkaran terhadap lemahnya komitment negara dalam mengusut kasus Hak Asasi Manusia. Saya yakin kita semua tahu itu, bahwa realitanya tidak seperti yang dikatakan oleh Diplomat Cantik ini. Komitmen negara kita terhadap permasalahan HAM terus menjadi pertanyaan besar sampai saat ini. Lalu kenapa kita harus membanggakan kehadiran sosok Diplomat Cantik tadi ini? Karena dia muda dan cantik? Bangsa kita ini memang mudah terbawa arus. Membanggakan hal-hal yang tidak semestinya. Bukannya menyimak apa yang diplomat itu sampaikan malah membanggakan kecantikannya. Semakin banyak yang membanggakan Diplomat Cantik dan Statementnya itu, menunjukkan semakin banyak yang setuju bahwa "Komitmen Negara terhadap permasalahan tidak perlu dipertanyakan lagi", sementara kita tahu realitanya tidak demikian, maka tidak perlulah terlalu berbangga hati. Pernyataan itu menyakiti sebagian dari kita, pernyataan itu tidak sesuai kenyataan, pernyataan itu hanya berisi arogansi dan ketidak-pedulian terhadap Hak Asasi Manusia di Papua, jangan menumpuk kekecewaaan dengan membanggakan itu semua.

Saya cukup muak melihat respon media kita terhadap kehadiran Diplomat Cantik tersebut. Berbagai media yang memberitakan, seakan sulit untuk tidak menambahkan predikat "Cantik" kepada Diplomat tersebut. Bukan salah dia tentu saja, media kitalah yang seperti itu. Tetapi itu mungkin karena memang masyarakat kita juga lebih tertarik ketika predikat-predikat itu disertakan. Dan karena paras cantik itu, kita terkadang lalai dengan isi yang disampaikan, padahal mungkin saja suara yang mereka sampaikan itu bertentangan dengan suara hati kita. Kita sebaiknya berhenti merayakan paras wajah dan melupakan realita yang terjadi. Jangan sampai keteledoran dan ketidak dewasaan dalam berkomunikasi tersebut justru semakin menjauhkan Papua dari pelukan kita. Apalah artinya membungkan enam negara pasifik, jika kemudian membuat saudara kita sendiri meneriakkan ketidak adilan karena merasa pelanggaran terhadap hak Asasi Manusia yang terjadi di sekitarnya tidak diakui dan tidak dipedulikan. Banyak pertanyaan mengenai komitmen negara kita terhadap HAM, kita harus pahami itu. Dan jangan sekedar bicara keabsolutan teritorial, Papua bukan hanya sebuah wilayah. Papua adalah manusia, kebudayaan, kehidupan, keluarga, dan Anak Bangsa kita. Mari memeluk mereka.


Merayakan Paras Wajah, Lupa Dengan Realita
Samapai kapan kita akan terus menerus merayakan paras wajah dan lupa dengan apa yang disampaikan







Selasa, 09 Agustus 2016

HEY

Hey, kata pertama yang terucap saat kita berkenalan.
Kata yang kita pakai saat saling menyapa melalui pesan singkat.
Kata yang sekarang sudah menghilang.

Saya memang bodoh, tidak diragukan lagi.
Termasuk memutuskan untuk jatuh cinta kepadamu.
Energimu terlalu besar untuk saya imbangi.

Tapi mau bagaimana lagi nona.
Sepertinya itu bukan pilihan untuk jatuh cinta atau tidak.
Pilihannya adalah, mencoba atau tidak sama sekali.

Dan ketahuilah nona, saya tidak menyesal telah mencoba.
Meskipun pada akhirnya tidak berjalan dengan baik.
Tapi tidak mengapa, tidak setiap saat kita jatuh cinta bukan?

Kita tidak pernah tahu semua akan berakhir bagaimana.
Tapi sejujurnya saya tidak punya banyak waktu.
Tapi dari sedikit waktu ini, saya berharap bisa habiskan dengan kamu.

Nona, jika suatu saat hatimu pada akhirnya terketuk.
Katakan saja "Hey", dan kita lanjutkan lagi perjalanan yang tertunda.




Selasa, 31 Mei 2016

AISYAH ITU SAKSI MATA

Saya begitu menyukai Film Aisyah,
Setelah beberapa kali berkesempatan bermain dalam film layar lebar, bermain dalam film Aisyah memberikan saya pengalaman rasa yang berbeda. Mengangkat isu yang begitu dekat dengan alasan saya menjajal panggung stand up comedy, film ini mengangkat banyak sekali hal yang menjadi concern saya dalam melihat Indonesia Timur. Memotretnya dengan cara yang sederhana, tidak gegabah, jujur, dan tetap apa adanya.

Tapi yang terutama adalah nilai-nilai toleransi yang disampaikan tanpa berusaha menggurui sedikitpun. Toleransi semacam ini di Indonesia Timur yang sudah berjalan sejak lama dengan begitu alami. Beberapa catatan kelam mengenai pertikaian antar agama sempat mencoreng kehidupan bermasyarakat di beberapa tempat di Indonesia Timur. Tetapi trauma ini justru semakin mengeratkan ikatan toleransi itu saat ini. Tahun ini Nusa Tenggara Timur bahkan didaulat sebagai provinsi dengan nilai toleransi antar umat beragama terbaik se-Indonesia.

Film ini adalah pesan penting bagi masyarakat Indonesia. Di kota-kota besar yang penuh dengan kecanggihan sistem informasi dan telekomunikasi, yang dimanjakan dengan pelbagai fasilitas, yang disesaki manusia-manusia sarjana dan ahli-ahli, justru sering kita jumpai tindakan-tindakan intoleran. Dilakukan oleh mereka yang terlihat menguasai ilmu agama dan bahkan dijalankan melalui kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah sendiri. Mengapa dengan semua kepandaian dan kelengkapan informasi mereka itu, susah untuk mengerti arti toleransi.

Dan Aisyah dalam film ini, menjadi saksi mata dari semua anomali tersebut. Betapa kisah petualangan dia ke Dusun Derok di perbatasan Kefamenanu ini harusnya bisa membuka mata banyak orang mengenai apa itu toleransi. Di Indonesia Timur, tidak membutuhkan postingan religi di laman sosmed, siraman rohani lewat tayangan televisi atau apapun kecanggihan yang dimiliki oleh manusia modern saat ini untuk memahami apa itu toleransi antar umat beragama. Di Indonesia Timur kamu bisa menemukan toleransi yang sebenarnya, yang tulus dan tidak berpura-pura itu, bahkan di dusun paling terpencil sekalipun seperti halnya Dusun Derok.

Kalau masih belum percaya, tanya saja Aisyah.
Dia saksi mata, bagaimana indahnya toleransi antar umat beragama di Indonesia Timur.





Sabtu, 30 April 2016

IRONI PELURU TAJAM

 
Mari Tembak Pelipis Mereka
Atau Penggal Saja Kepalanya
Toh Mereka Hanya Bisa Teriak
Mereka Tidak Akan Angkat Senjata
Kita,... Kita Yang Punya Senjata, Bukan Mereka...

Kalau pun Mereka Angkat Senjata, Mereka Melawan Hukum
Hukum itu Kita Yang Punya, Mereka Hanya Harus Tunduk
Tunduk pada Hukum dan Kitalah Penegak Hukum

Mari Rebut Tanah Kelahirannya
Kita Usir dari Rumah-rumah Mereka
Toh Mereka Hanya Bisa Mengadu
Tetapi Dunia Sudah Tutup Telinga
Dunia,... Dunia Berpihak Pada Kita, Bukan Mereka

Kalaupun Dunia Memihak Mereka, Hukum Masih Memihak Kita
Kita Hukum Mereka Dimata Dunia. Mereka Tetap Akan Tunduk,
Dunia Akan Bisu dan Mereka Terlupakan

Perusahaan Datang Lagi Menagih Janji
Dan Pemerintah Telah Memberi Restu
Jadi apalagi yang Kurang
Kita Arahkan Saja Senjata Kita
Pemerintah,... Pemerintahlah yang Meminta Kita

Kalaupun Pemerintah Memihak Mereka, Perusahaan masih Memihak Kita
Kita Minta Perusahaan Merayu Pemerintah, Nanti Mereka Juga Luluh
Pemerintah Akan Memberi Perintah, dan Kita Akan Bertugas

Pasang Peluru Tajam mu Kawan
Pelajar, Petani dan Nelayan itu Sudah Melampaui Batas
Mari Tembak Pelipisnya
Dan usir mereka dari Tanah Kelahirannya
Ini adalah tugas negara, ini adalah perintah untuk kita

----------------------------------------------------------------------------------------------
Malang, 25 Desember 2011

Sabtu, 19 Maret 2016

KEADILAN, JALAN MENUJU TUHAN

Mengapa agama-agama besar diturunkan?
Bagi saya salah satunya, adalah demi keadilan.

Bukankah Musa diturunkan untuk membela Bani Israel dari ketidakadilan Fir'aun?  Yang membunuh setiap bayi laki-laki dari keturunan Israel.
Bukankah Jesus Kristus diturunkan untuk membela Bani Israel dari ketidakadilan Herodes? Yang membinasakan semua bayi laki-laki di Beetlehem.
Bukankah Muhammad SAW, diturunkan salah satunya untuk meluruskan ketidakadilan yang dilakukan oleh Kaum Kafir Qurais? Yang mengubur hidup-hidup Bayi Perempuannya.

Lalu mengapa kita memandang keadilan dengan sebelah mata, ketika bahkan Tuhan sekalipun menurunkan utusannya untuk menghentikan ketidakadilan.

Saya menyukai konsep ideologi Pancasila. Tetapi saya melihat Pancasila sebagai Dasar Negara kita yang ditulis dari Sila Pertama hingga Sila Kelima, untuk mewujudkannya harus dimulai dari bawah, dari Sila Kelima menuju Sila Pertama.

Kita harus menjamin bahwa keadilan sosial telah diwujudkan, setidaknya dimulai dari pikiran dan nurani kita sendiri. Tuan Besar Pramoedya pun telah mengatakan baiknya kita berlaku adil sejak dalam pikiran. Sejak dalam pikiran.

Lalu tanyakan pada diri kita masing-masing, sudahkah kita berusaha adil selama ini?

Yang saya lihat banyak yang berlindung dibalik Sila Pertama untuk menindas setiap yang berbeda pandangan dengan mereka. Tidak peduli makna kemanusiaan, yang adil dan beradab. Tidak melihat persatuan dan kesatuan bangsa sebagai sesuatu yang penting. Tidak mengindahkan makna hikmah kebijaksanaan. Dan terutama tidak peduli makna keadilan sosial.

Menindas kaum minoritas, menolak pemimpin yang tidak seagama,  memecah belah bangsa dengan menyebarkan kebencian terhadap suku dan agama tertentu, tidak pernah peduli dengan nasib orang yang mereka akui sebangsa. Mereka merasa cukup hanya dengan Sila Pertama saja. Ketika mereka merasa ber-Tuhan.

Pertanyaannya, akankah Tuhan menerima kita jika membiarkan ketidakadilan?

Mengapa Pancasila harus diwujudkan dari bawah?
Karena saya percaya, keadilan adalah jalan terbaik untuk menemui Tuhan.

Salam,...