Jumat, 14 Agustus 2015

Tuntutlah Ilmu, Tuntunlah Ilmu


Sepertinya menyenangkan menjadi seorang ahli seperti orang-orang itu. Saya selalu ingin menjadi salah seorang dari mereka. Status seorang ahli, sepertinya demikian terhormat dimata masyarakat. Karena saya merasa bukan ahli dalam bidang apapun. Saya mungkin cukup mahir berkomedi, tapi sepertinya belum masuk kategori ahli. Karena ahli itu sepertinya mengerti berbagai seluk beluk disiplin ilmu yang ditekuninya.

Pastinya hebat menjadi ahli. Ahli fisika, ahli agama, ahli kimia, ahli kesehatan, ahli hukum, ahli nuklir dan banyak lagi ahli-ahli dari berbagai disiplin ilmu. Saya ingin menjadi seperti mereka.


Tetapi malam ini kawan, saya mendadak takut menjadi ahli. 

Pernah saya menemukan sebuah kalimat dalam peribahasa, "Laksana Ayam yang mati kelaparan, di lumbung padi". Kalimat peribahasa inilah yang pertama kali terbersit dalam benak saya ketika saya melihat beberapa ahli belakangan ini. Pikirannya mati, terkubur oleh ilmu menumpuk yang mereka miliki. Ahli hukum maupun ahli agama, sepertinya banyak yang pandangannya justru dikaburkan oleh pengetahuannya sendiri. Padahal mereka ini semua ahlinya, tapi entahlah bagi saya justru dalil yang mereka ketahui, yang mereka hafalkan, dan mereka kuasai justru berbalik membodohi pikiran mereka. 

Maka saya tidak mau lagi menjadi seorang ahli, jika akan berakhir seperti mereka.

Mungkin seperti ini yang saya rasakan. 
Anggaplah dua orang ini naik gunung. 
Yang satu orang yang ilmunya sedikit, satunya lagi adalah seorang Ahli.
Ketika tersesat, orang yang ilmunya sedikit akan ketakutan lalu berhenti dan memahami apa yang salah dengan perjalanan yang ia tempuh. Lalu mencari jalan keluar yang baik. Mencari jalan yang benar yang mungkin telah ditinggalkannya. Orang yang ilmunya sedikit ini akan menapaki perjalanan dengan perlahan, dan berusaha menemukan jalan yang akan membuatnya selamat.
Berbeda dengan seorang ahli-ahli seperti yang saya lihat belakangan ini. Ketika tersesat mereka bersikukuh bahwa merekalah ahlinya. Bahwa yang menyadari kekeliruan merekalah yang tersesat. Maka akan dikeluarkanlah dalil-dalil mereka untuk menutupi kekeliruan tadi ini. Tetapi semakin tersesatlah jalan mereka. Bahkan jika dia dan semua orang mengikutinya jatuh kedalam jurang yang terjal, maka dia akan tetap memiliki dalil, bahwa jurang yang terjal itulah jalan yang terbaik. Dan semua orang harus mendengarkannya karena dia adalah ahlinya. 

Para ahli seperti ini dibenak saya hanyalah orang-orang yang mempunyai banyak ilmu karena rajin menuntut ilmu. Tetapi setelah memiliki ilmu, maka ilmu tersebut tidak menuntunnya kemana-mana kecuali kedalam ketersesatan. Tidak tersisa apapun bagi ahli seperti ini, kecuali sifat kesombongan yang terus tumbuh didalam sanubarinya.

Beberapa orang tersesat karena sedikitnya pengetahuan, tetapi juga tidak sedikit yang tersesat dengan banyaknya pengetahuan. 

Begitu mengerikan, jika kita justru tersesat dalam luasnya pengetahuan kita sendiri.

Dan lagi begini, tidak peduli kita dikehidupan ini menjadi ahli apapun. Mau itu Ahli Agama, Ahli Kimia, Ahli Hukum Tata Negara, Ahli Fisika, Ahli Gizi ataupun Ahli Komputer, pada akhirnya kita semua akan berakhir sama, menjadi Ahli Kubur.

***

Satriaddin Maharinga a.k.a Arie Kriting
Orang ini tidak terkenal sebagai Ahli dalam bidang apapun,
tetapi bertekad memiliki Ahli Waris, yang lahir dari rahim kamu
yang mencintai seni, gagasan, keadilan, kemerdekaan
dan kemanusiaan. Karena itulah jalan yang ia pilih
untuk mendekati Sang Penciptanya.





Sabtu, 01 Agustus 2015

Membangun Pondasi Yang Kokoh

Selamat memasuki bulan Agustus. Bulan kemerdekaan bangsa kita. Merdeka..!!!

Saya bukan pakar tata negara tapi saya Orang Merdeka.

Maka atas dasar kemerdekaan ini saya mau menulis apa yang saya lihat mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara kita. Saya sangat mengagumi Pancasila, meskipun menurut beberapa orang, Pancasila sebagai Dasar Negara sebenarnya normatif dan bukan sesuatu yang luar biasa secara terobosan pemikiran. Artinya di berbagai negara, di berbagai tatanan, bahkan sejak jaman kerajaan-kerajaan, nilai-nilai serupa atau sejalan dengan yang tertuang dalam Pancasila juga telah dirumuskan tentunya dengan bahasa, urutan, dan kemasan yang berbeda.. Tapi itu kemasannya saja, sejatinya Pancasila sebagai dasar Negara adalah memang sesuai dengan yang dibutuhkan bangsa kita. Lebih daripada itu, harusnya yang terpenting adalah implementasinya.

Menurut saya, sebagai sebuah dasar negara, perwujudan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari itu harus dimulai dari bawah. Dari menumbuhkan keadilan, didalam pikiran, perbuatan, dan perasaan. Baru kemudian kita berbicara mengenai nilai-nilai yang tertera pada sila-sila diatasnya. Karena secara harfiah, membangun Pondasi itu memang dari bawah. Tidak mungkin membangun Pondasi itu dari atas. 

Tanya saja semua tukang bangunan, pasti yang namanya membangun Pondasi itu dari bawah.

Mungkin begitu juga seharusnya dengan membangun Pondasi Negara. Harus dari bawah.

Sebagai negara dengan penduduk yang cenderung religius, memang tidak mengherankan jika sila pertama lebih sering dipasang sebagai tolok ukur untuk menilai kondisi yang terjadi dalam masyarakat. Tetapi terkadang dalam prakteknya, sila pertama ini juga menjadikan nilai-nilai kemanusiaan menjadi nomor dua, dan bahkan dalam beberapa kasus malah membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi mungkin yang terjadi adalah kita keliru dalam memaknai urutan dalam Pancasila ini. Mungkin sejatinya kita harus mulai memahami dan mewujudkan Pancasila itu dari sila yang paling bawah, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini yang sebenarnya harus menjadi fokus kita bersama dulu. Bagaimana mewujudkan keadilan sosial di negara ini. 

Balik lagi, kita harus membangun Pondasi itu dari bawah, supaya kokoh.

Bukan bermaksud mengesampingkan ajaran-ajaran agama, sama sekali bukan. Tetapi dengan beberapa kejadian yang akhir-akhir ini mengemuka, saya seperti melihat ada kejanggalan makna. Kasus Tolikara, masalah haramnya BPJS, Islam Nusantara, dan lain sebagainya, selalu menghadirkan polemik yang ujung-ujungnya akan berkutat pada perdebatan bahwa negara kita ini berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka harus begini, harus begitu, karena ini ada dalam ajaran jelas aturannya begini dan begitu. Berputar disitu-situ lagi.

Tapi kemudian kita terus saja menyaksikan ketidak adilan terjadi dimana-mana.

Mungkin kita harus menata kembali langkah kita. Mencermati kembali lagi urutannya. Bagaimana jika pondasi bangsa kita ini, kita bangun dari bawah. Melihat masih belum terwujudnya Keadilan Sosial, sebagai permasalahan utama bangsa kita. Karena inilah yang menjadi bagian paling bawah dari dasar negara kita. Dasarnya, pondasi negara kita.

Entahlah ini benar atau tidak. Bagaimana pun juga ketika menuliskan ini, saya hanya mengikuti kata hati dan pikiran saya yang merdeka. Hanya sebatas itu saja. Tetapi saya lalu sampai pada sebuah pertanyaan...

Akankah kita menemukan Tuhan, jika kita tidak berlaku adil?

Ahh, sepertinya saya kurang tidur....