Nervous tetapi penuh semangat, begitulah kurang lebih yang kurasakan ketika malam mulai merambat dalam dinginnya Kota Malang. Beberapa jam lagi perjalanan panjangku menuju tempat yang lama ku impikan akan segera menjadi kenyataan. Dan aku telah berdiri didepan gerbang rumah, bahkan sebelum mobil jemputan datang. Aku menyambutnya dengan bahagia, karena tempat inilah yang sekian lama menggelayut dalam imajinasiku. Bagaimana kota-kotanya, bagaimana bangunan-bangunannya, bagaimana jalan-jalannya, bagaimana air dan udaranya, bagaimana lalu-lintasnya, dan tentu saja bagaimana orang-orang serta kehidupan mereka disana. Aku telah banyak mendengar tentang tempat ini, betapa eksotismenya senantiasa mampu membius orang-orang seperti saya, yang haus akan petualangan, bahkan sekedar melalui cerita sekalipun. Maka pada tanggal 14 Juni 2011, dini hari Waktu Indonesia Barat, aku dan beberapa helai pakaianku, bergegas meninggalkan Kota Malang untuk menjemput impianku, melihat Tanah Papua.
Setelah lima jam perjalanan, yang sebagian besar ku habiskan dengan tertidur didalam pesawat, akhirnya aku menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Tanah Papua. Bukan di Kota Jayapura, yang menjadi tujuan utamaku, melainkan Bandara Udara Kota Sorong. Meskipun hanya transit sekitar 20 menit, namun rintik hujan yang menemaniku selama berada di Bandara ini telah menegaskan padaku bahwa aku telah ada di Tanah Papua, menjejakkan kakiku dipenghujung timur negara tempat tumpah darahku. Lalu beberapa jam kemudian sampailah aku di Kota Jayapura, kota yang sekian lama telah menjadi ibukota Papua, sejak sebelum otonomi membagi Papua melalui mekanisme pemekaran daerah.
Disambut oleh Danau Sentani, dengan beberapa pulau kecil yang serupa bross dengan hiasan manik-manik yang indah (pulau sebagai bross dan atap rumah-rumah penduduk dipesisirnya sebagai manik-manik, inilah yang kubayangkan ketika melongok kebawah dari jendela pesawat) sungguh menggugahku untuk sesegera mungkin memulai perjalananku. Bandara udara yang dipenuhi oleh berbagai suku dari etnis Papua dengan perawakan yang khas membuatku merasa menjadi seorang pengelana yang berada pada tempat asing, dimana aku menjadi minoritas. Meskipun sebenarnya aku sungguh berharap bahwa kulitku yang sawo matang terbakar sehingga menjadi gelap, dan rambut ikal yang kumiliki dapat menjadikanku bagian dari mereka. Karena sejujurnya saja, isu rasial merupakan hal yang paling ku khawatirkan ditempat ini, dan bagaimanapun juga aku sedikit banyak benci jika harus mendapat label pendatang (dengan kesan yang buruk sebagai perebut kebebasan, perompak sumber daya alam, yang tidak memiliki hak apapun dengan tanah tersebut), karena tempat ini telah sekian lama ku kagumi dari tempat yang jauh. Bukankah kita tidak bisa memilih ingin dilahirkan dimana? Dan lagipula kita adalah sebangsa dan setanah air, maka menjadi pendatang dan orang asli bukanlah konsep yang ideal dalam pikiranku, ketika berbicara mengenai hak untuk mencintai alam atau kebudayaan pada suatu tempat.
Setelah lima jam perjalanan, yang sebagian besar ku habiskan dengan tertidur didalam pesawat, akhirnya aku menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Tanah Papua. Bukan di Kota Jayapura, yang menjadi tujuan utamaku, melainkan Bandara Udara Kota Sorong. Meskipun hanya transit sekitar 20 menit, namun rintik hujan yang menemaniku selama berada di Bandara ini telah menegaskan padaku bahwa aku telah ada di Tanah Papua, menjejakkan kakiku dipenghujung timur negara tempat tumpah darahku. Lalu beberapa jam kemudian sampailah aku di Kota Jayapura, kota yang sekian lama telah menjadi ibukota Papua, sejak sebelum otonomi membagi Papua melalui mekanisme pemekaran daerah.
Disambut oleh Danau Sentani, dengan beberapa pulau kecil yang serupa bross dengan hiasan manik-manik yang indah (pulau sebagai bross dan atap rumah-rumah penduduk dipesisirnya sebagai manik-manik, inilah yang kubayangkan ketika melongok kebawah dari jendela pesawat) sungguh menggugahku untuk sesegera mungkin memulai perjalananku. Bandara udara yang dipenuhi oleh berbagai suku dari etnis Papua dengan perawakan yang khas membuatku merasa menjadi seorang pengelana yang berada pada tempat asing, dimana aku menjadi minoritas. Meskipun sebenarnya aku sungguh berharap bahwa kulitku yang sawo matang terbakar sehingga menjadi gelap, dan rambut ikal yang kumiliki dapat menjadikanku bagian dari mereka. Karena sejujurnya saja, isu rasial merupakan hal yang paling ku khawatirkan ditempat ini, dan bagaimanapun juga aku sedikit banyak benci jika harus mendapat label pendatang (dengan kesan yang buruk sebagai perebut kebebasan, perompak sumber daya alam, yang tidak memiliki hak apapun dengan tanah tersebut), karena tempat ini telah sekian lama ku kagumi dari tempat yang jauh. Bukankah kita tidak bisa memilih ingin dilahirkan dimana? Dan lagipula kita adalah sebangsa dan setanah air, maka menjadi pendatang dan orang asli bukanlah konsep yang ideal dalam pikiranku, ketika berbicara mengenai hak untuk mencintai alam atau kebudayaan pada suatu tempat.
Salah Satu Pulau di Danau Sentani |
Kembali pada perjalanan impianku, yang dibungkus oleh tujuan melakukan sebuah survey perencanaan di Kota ini, dimana Matahari telah mulai redup ketika kami tiba di Bandara Sentani. Seorang lelaki dengan kalung Taring Babi menanyakan tempat tujuan kami. Sorot matanya tajam namun bersahabat. Kerasnya kehidupan disini terlukis dari senyumnya yang seakan dipaksakan. Setelah usahanya untuk menawarkan jasa angkutan kami tolak dengan halus ia pun berlalu, menghampiri penumpang lain untuk menawarkan jasanya. Namun beberapa saat kemudian ia kembali lagi. Mencoba membangun interaksi, kali ini sembari meminta sebatang rokok dariku, yang terpaksa tidak ku kabulkan karena menurutku ini adalah bentuk intimidasi. Tetapi tentu saja aku maklum dengan semua ini, kehidupan kami di Sulawesi pun tidak jauh berbeda. Hal seperti ini bukanlah pertama kali ku alami. Di pelabuhan, di pasar, di terminal, di jalan-jalan umum, di tempat wisata, atau di Sekolah, kejadian seperti ini telah pernah ku jumpai. Menolak bukan karena tidak ingin berbagi, tetapi untuk keadaan seperti ini, menolak berarti melepaskan diri dari intimidasi. Aku lantas menyempatkan diri untuk menghubungi seorang sahabatku di dunia maya, yang seingatku tinggal tidak jauh dari Bandara Sentani ini. Selang beberapa saat, Erick Sialagan, seorang remaja yang ku kenal melalui situs jejaring sosial, datang menemuiku di Bandara ini. Lelaki putih keturunan Medan ini baru pertama kali ku jumpai setelah setahun lebih berkomunikasi melalui dunia Maya. Tidak begitu banyak berbeda dengan profil yang ditampilkan pada akunnya, kecuali tubuhnya yang sedikit lebih besar dari yang ku perkirakan. Kami bercerita seperti biasa, jauh dari kesan orang yang baru pertama kali bersua, hal yang sama seperti yang sebelum-sebelumnya, ketika pertama kali aku bertemu karib kami dalam salah satu group jejaring sosial. Tidak ada perasaan asing sedikit pun. Kami tidak sempat bercerita banyak, karena beberapa saat kemudian, jemputan menuju penginapan di Jayapura telah datang. Dan lelaki dengan kalung Taring Babi tadi kembali menghampiri, mengatakan beberapa hal kepada penjemput kami, seorang pemuda dari Solo alumni perguruan tinggi di Malang yang telah bekerja di Jayapura. Penjemput kami ini, yang belakangan ku ketahui adalah orang yang memberikan pekerjaan ini pada kami, kemudian menyerahkan beberapa lembar uang lalu berterima kasih. Lantas lelaki dengan kalung tersebut menoleh kearahku, melemparkan senyum kemenangan dan berlalu. Selamat datang kembali di belahan bumi Indonesia bagian timur, pikirku, terkenang kondisi serupa yang lazim terjadi di Sulawesi.
Hari telah semakin senja, dan mobil yang kami tumpangi melaju melalui bukit-bukit dan kelokan-kelokan jalan dari Sentani menuju Jayapura. Pemandangan Danau Sentani menampilkan kecantikkannya yang eksotis dan mistis menghapuskan rasa lelahku dari perjalanan panjang. Sejenak aku menyadarkan diriku kembali, bahwa aku telah menginjakkan kaki ditempat ini, di Tanah Papua, bukan dalam imajinasi saja melainkan saat ini aku telah benar-benar menghirup udara, merasakan atmosfirnya, dan menikmati matahari senja yang diselimuti kabut,..... Aku telah tiba di Papua.
Di Bandara Udara Sentani - Jayapura, Papua |
|| - TO BE CONTINUED - ||
Terima Kasih telah mampir di Blog ini
Tinggalkan komentar agar saya dapat membalas kunjungan anda atau berbagi kisah dan informasi
Terima Kasih telah mampir di Blog ini
Tinggalkan komentar agar saya dapat membalas kunjungan anda atau berbagi kisah dan informasi
wwoww...!!
BalasHapusd tggu sambungannya om..
i like it...
:)
inginku menyusul menjejakkan kaki dan melengkapi perjalan di indonesia timur..papua...antarkan aku ke tanahmu..>>>
BalasHapusHmmm. . .
BalasHapussa kira ko su cerita tentan tong pu gatal di PNG sana kaa. . . hmmm. .
beta ikut
BalasHapus