Tersebutlah sebuah suku bernama Suku Hariak. Menempati hutan-hutan menyongsong mentari terbit. Mereka sejak lama dikenal merupakan pribadi yang tertutup, sulit untuk menyatu dengan orang asing. Bukan karena angkuh, bukan sama sekali. Mereka memang sulit untuk menerima budaya baru. Bagi mereka, apa yang ditunjukkan oleh budaya asing itu banyak yang bertentangan dengan kebudayaan nenek moyang mereka. Aksara, Agama, Undang-undang, Uang, dan Teknologi adalah sesuatu yang asing dan rumit untuk dipahami. Orang-orang Hariak tidak paham tulisan-tulisan "Hutan Lindung" yang bertebaran mengelilingi kampung-kampung mereka. Mereka juga tidak paham mengapa tidak boleh menebang pohon untuk menambal gubuk-gubuk mereka, sementara tetua adat sudah memintakan ijin dari para roh penghuni pohon. Tetapi laki-laki berseragam mengusir mereka dan sekali waktu menembaki mereka dengan senjata yang meletus keras dan mengeluarkan api. Lalu orang-orang berdasi dan pekerja-pekerja mereka yang berasal dari segala macam tempat, datang membawa mobil-mobil besar, mengeruk tanah dan mengambil banyak bebatuan berwarna hitam. Orang-orang Hariak tidak peduli, toh batu-batu hitam itu juga bukan merupakan bahan makanan, mereka tidak paham bahwa Alam mereka telah dieksploitasi.
Para pekerja dari orang-orang berdasi lalu menebang pohon-pohon, dan mereka tidak meminta ijin pada roh-roh penghuninya. Sementara orang-orang berseragam dan membawa senjata mengawasi dan menjaga mereka. Beberapa pemuda suku Hariak mencoba mengingatkan tentang kemarahan roh penghuni, tetapi mereka malah dipukuli dan diancam akan ditembak. Lalu tetua adat yang bijaksana memutuskan untuk pindah. Mereka akan masuk mencari tempat kedalam Hutan yang lebih jauh. Agar anak-anak bayi mereka bisa tertidur nyenyak tanpa gangguan bising kendaraan. Para pemuda Hariak banyak yang tidak setuju, menurut mereka itu adalah tanah nenek moyang mereka, hak mereka, warisan mereka yang harus dipertahankan. Tapi tetua adat berpendapat lain, bahwa tanah itu dimana pun berada sama saja, hutan menyediakan tempat untuk hidup dan mencari makanan, selama masih ada tepian yang tanahnya subur dan sungai yang airnya mengalir deras maka kehidupan juga akan terus berjalan. Tanah itu milik Sang Pencipta, dan orang-orang berdasi, para pekerja asing, dan orang-orang berseragam yang kejamnya minta ampun itu mungkin memiliki takdir untuk mengolah tanah tersebut. Lalu orang-orang Hariak pun berpindah, tua dan muda melakukan perjalanan, masuk mencari Hutan yang lebih tenang, mencari tepian subur lainnya, mengikuti alur sungai, sembari wanita-wanitanya mendendangkan doa-doa meredakan tangisan balita dalam pelukannya.
Bertahun-tahun kemudian, orang-orang berdasi semakin banyak, para pekerjanya juga semakin memenuhi Hutan, beranak pinak membentuk dusun-dusun mereka sendiri. Hutan semakin menghilang, dan para penjaganya yang berseragam itu justru menyembah-nyembah setiap kali orang-orang berdasi datang dengan mobil-mobil mereka. Suku Hariak sudah berkali-kali pindah. Pemuda-pemudanya mulai lelah dengan kebiasaan itu. Mereka semakin sering berpindah-pindah seirama dengan Hutan-hutan yang terus menerus hilang. Hewan buruan juga semakin sulit didapat. Tepian sungai jarang yang bisa ditempati. Pelabuhan-pelabuhan Kayu milik orang-orang berdasi bertebaran disepanjang aliran Sungai. Tetapi mereka tidak paham apa yang harus mereka lakukan. Seumur hidup dalam sejarah suku Hariak tidak sekalipun mereka pernah berperang. Mereka hanya terus berusaha menghindar, meskipun pilihan itu tampaknya semakin sulit. Sang Tetua Suku yang baru juga tahu apa yang harus mereka lakukan, mereka hanya ingin mencari ketenangan, melanjutkan khidupan sedrhana mereka, meskipun harus berpindah tempat lagi. Setelah sekian lama bersahabat dengan Alam dan terisolasi didalam Hutan mereka yang tenang dan damai, orang-orang Hariak tidak pernah tahu bahwa ada jenis manusia yang serakah, yang dilahirkan dengan sifat perusak, dan mengancam keberadaan mereka, suku mereka, kebiasaan mereka, dan alam tempat tinggal, hutan juga sungai mereka.
Bersambung....
Bersambung....