Jumat, 25 Februari 2011

1985 - 1990 (Part II)

Tahun 1985 hingga tahun 1990 merupakan masa kecil yang ku lalui di Kota Kendari. Satu yang selalu terasa adalah suasana senja, yang entah mengapa, dimana pun aku merasakan suasana senja, selalu terbawa akan berbagai kenangan masa kecil ku di Kendari.

Meskipun samar, namun memmory yang terekam dari penggalan-penggalan masa kecilku, menjadi bagian yang membangun sebagian dari kepribadianku kelak, dan bahkan beberapa diantaranya terus menerus hadir dan lantas menjadi bagian yang tidak hilang bahkan ketika aku sudah Akil Baligh (sebuah kejadian masa kecil membawa trauma tersendiri hingga saat ini).

_____________________________________________________________

ANAK TANNUKILA

Tannukila merupakan nama jalan tempat rumah kami berdiri. Lorong Tannukila kata orang berarti tanduk yang berkilat (di beberapa daerah di Sulawesi, Tanduk Kerbau merupakan salah satu barang berharga, seperti halnya Taring Babi di Papua atau Gading di Flores). Lorong Tannukila merupakan salah satu kawasan yang berkembang cukup pesat.

Dirumah kami yang sangat sederhana, aku dibesarkan dengan penuh kegembiraan. Entahlah, namun sepertinya tidak ada bayangan kesedihan kala itu.., seingatku. Ayahku, Ibuku, Aku, Adik Perempuanku, Bibi (kakak dari Ibuku), Om Mesran (adik ibuku), Nenek (juga dari ibuku), Kak Taufik dan Karni (dua kakak sepupuku yang telah bersama kami sejak masih kecil dan telah ku anggap sebagai kakak kandung) merupakan penghuni rumah ini. Kecuali kedua kakak sepupuku yang sering berduel untuk berbagai hal sepele, nyaris tidak ada keributan dirumah kami. Sungguh saat2 yang penuh ketenangan.

Kompleks kami merupakan kawasan yang sangat heterogen, dihuni oleh berbagai latar belakang suku, mulai Tolaki, Makassar, Bugis, Buton, Pulo, Muna, Toraja, Bali, dan Jawa. Demikian hal nya agama dan mata pencahariannya, sangatlah beraneka ragam. Namun demikian, warga kompleks kami sangatlah rukun. Seingat saya, dari beberapa kali terjadi insiden dengan kampung tetangga, pemuda-pemuda kompleks kami selalu bahu membahu, bergotong royong, dan bersatu padu, menyusun kekuatan untuk melakukan perlawanan (pada saat itu, hal-hal semacam ini merupakan tolak ukur kerukunan suatu kompleks/kampung). Bahkan dengan di Ketuai oleh Om Juri (Salah seorang warga yang berasal dari Toraja, merupakan salah satu pelatih Karate Propinsi saat itu) pemuda-pemuda kami membentuk sebuah perguruan Karate. Dalam kasus ini, kami yang kecil-2 berusia lima dan enam tahun hanya diajari dasar Karate beberapa menit, untuk selanjutnya diadu setengah jam kedepannya. Sungguh ku ingat keberanian (meskipun setelah besar baru terpikir bahwa itu sebenarnya kebodohan) aku, mamad, putu, usram dan aco, yang sangat gembira di pakaikan sabuk warna-warni kemudian berduel didalam lingkaran hingga salah satunya menangis. Kebanyakan aku dan putu yang sering menangis.

Dilorong ini pula aku mendapatkan pengalaman burukku. Siang itu, aku dipaksa tidur siang oleh ibuku, jadi aku pun dipaksa masuk ke kamar lantas dikunci dari luar kamar. Namun karena sangat ingin bermain dengan Si Putu yang rumahnya berbatasan pagar semak dengan rumahku, nekatlah aku untuk lompat melalui jendela rumah.

Tidak disangka..,seekor anjing peliharan keluarga Si Putu tepat berada disana. Mungkin karena terkejut, Anjing yang biasanya ramah itu pun menyalak gak karu-karuan, di serang kepanikan aku berlari sekencang-kencangnya bermaksud untuk masuk kerumahnya Si Putu, sial lagi.., Kawanan Si Anjing tadi yang berjumlah lima ekor, sedang bersantai ria dihalaman rumah keluarga Bali ini, langsung saja aku di kerubutin dengan gonggongan bising disana sini. Dunia tiba-tiba saja gelap, aku pingsan entah beberapa lama. Saat terbangun aku sudah berada di Rumah lagi, didalam kamar, dengan badan lemas dan ingatan yang buram. Berkat kejadian ini.., aku tidak pernah lagi bermain ke Rumah Si Putu, dan Trauma dengan Anjing, menjadi semacam phobia bagiku hingga saat ini.

Pernah juga suatu ketika Bencana Banjir melanda kompleks kami. Karena berada pada dataran rendah, sebagian besar lahan kosong di Kompleks kami senantiasa berubah menjadi Rawa/empang pada musim hujan hingga berbulan-bulan. Disinilah kami biasanya memancing ikan Lele, Mujaer, atau ikan Gabus. Bahkan kalau beruntung juga terdapat Ikan Mas, yang entah bibitnya berasal dari mana. Namun, jika curah hujannya terlalu tinggi, maka dalam sekejap, empang dan rawa-rawa tersebut meluap, menggenangi permukiman kami, hingga ketinggian satu setengah meter. Seingatku, ketika itu malam hari, dan permukaan air terus saja naik dan masuk kedalam rumah. Aku kemudian di panggul oleh pamanku dan kami sekeluarga harus mengungsi bersama seluruh warga. Keesokan paginya, setelah banjir surut dan kami pulang ke Rumah, seekor ikan mas yang cukup besar ternyata terjebak didalam rumahku. Maka diolahlah ikan mas tersebut menjadi ikan mas tumis yang lezat. Sungguh salah satu acara makan siang yang tidak akan terlupakan. Makan siang bersama, dengan perabotan basah disana-sini, lantai yang masih dipenuhi lumpur dibeberapa tempat, baju-baju kami yang basah, tubuhku yang kedinginan, namun senyum keluargaku tercinta yang menghangatkan hati dan jiwaku..,





...to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar