Jumat, 25 Februari 2011

1985 - 1990 (Part IV)

Ketika kita meninggalkan sebuah gerbang waktu, dan bersiap memasuki gerbang waktu lainnya, akankah semua ikhwal kehidupan kita sebelumnya lantas menjelma menjadi nostalgia begitu saja. Kemudian tersimpan dalam ruang waktu yang sulit untuk dihirup lagi aromanya. Atau karena keinginan untuk terus bergerak majulah yang membuat sirnanya kenangan itu.
Bagaimana jika sesungguhnya manusia dapat berdiri pada satu bagian kehidupannya saja, bagian yang terindah dan terbaik, akankah manusia memilih untuk menetap. Sepertinya tidak, karena kita tidak pernah tahu, bagian mana dari kehidupan kita yang terbaik. Hingga akhir itu tiba, dan waktu berpaling dari kita.
______________________________________________________________

DAN SENJA PUN BERLALU

Tahun 1990, Ayahku pindah tugas ke Kota Bau-bau. Ketempat yang ketika itu harus ditempuh selama 18 jam perjalanan menyebrangi Laut. Maka, untuk beberapa saat figur Ayah lenyap dari kehidupan kami. Terkadang, jika sewaktu-waktu Ayahku kembali, aku bahkan merasa asing berada didekatnya.
Selebihnya, semua berjalan seperti biasa. Mungkin sedikit peningkatan dosis kenakalan kedua kakak sepupuku saja yang memberikan warna lain. Mereka telah duduk di Bangku SMP saat itu, dan seperti kebanyakan remaja pada masanya, adrenalin menjadi pertimbangan utama dalam mengambil keputusan. Ditambah lagi sosok Bruce Lee yang didaulat sebagai idola mereka pada masa itu. Tidak hanya sekali mereka berdua pulang dengan baju sobek dan muka lebam. Bahkan insiden pertikaian sedarah pun kerap terjadi dirumah. Beberapa kali mereka berdua berduel sengit menggunakan segala peralatan rumah (meskipun kebanyakan hanya dengan sapu ijuk) ditengah histeris ibu, nenek, dan bibiku. Paman biasanya bertindak tegas, bahkan sangat tegas, jika keduanya sedang terlibat masalah. Pernah suatu kali tangan mereka ditindih dengan kaki bangku, dan diduduki olehnya sebagai hukuman mereka. Namun, remaja tetaplah remaja.., dan semua terus berulang.
Dirumah aku hidup dengan duniaku sendiri. Mengingat rentang usia yang demikian jauh, maka aku bukanlah bagian dari pergaulan kedua kakak sepupuku. Ibu, Bibi dan Nenekku juga disibukkan oleh adikku yang ketiga yang belum genap setahun dan adik perempuanku yang manja bukan main. Demikian juga semenjak Anjing Peliharaan Keluarga Putu menjadikan diriku salah satu targetnya, aku pun kehilangan koneksi dengan tetanggaku itu. Meskipun demikian, kekuatan imajinasi memberikan tempat bagiku untuk membagikan kesepian ini. Aku memilih menjalin hubungan persahabatan dengan buku gambar dan pensil berwarna, menyatukan visi kami dan mewujudkan dunia yang baru. Tidak hanya gajah dan jerapah, beberapa ekor burung hantu, ayam, dan macan bergabung bersama kami. Jika jenuh dengan semua itu, sebuah televisi hitam putih menawarkan sajian lainnya, gambar yang dapat bergerak dan bersuara. Meskipun harus menanti hingga pukul setengah empat sore untuk dapat menikmati sajian televisi, namun telah cukup memberikan setengah jam yang terbaik bagiku. Ya, setengah jam durasi sajian kartun anak-anak yang diberikan oleh televisi pemerintah kala itu. Sesudahnya, rutinitas berganti dengan mandi sore, dibedakin, lalu diganjar dengan sepotong besar Kue Pisang Goreng, dan duduk-duduk di kursi rotan diteras rumah melihat pamanku memberi makan ayam-ayam peliharaannya. Hampir selalu seperti itu.
Seingatku aku tidak pernah merasa bosan dengan semua itu. Atau memang seusia itu, kita belum mengenal perasaan bosan.
Sesekali aku diajak oleh kedua sepupuku, sepertinya bukan karena kasihan melihatku sendirian, tetapi sebagai alat tukar dengan kebebasan mereka dari semua tugas rumah. Terkadang aku dilibatkan dalam permainan mereka, sebagai jago yang mereka usung, dalam permainan mengadu anak-anak yang mereka ciptakan. Atau menjadi pengawas keamanan, ketika mereka menerobos pabrik kasur dan melakukan entah apa. Suatu kali aku sedang memperhatikan seekor katak saat ketiga penjaga pabrik datang, dan mereka pun tertangkap basah. Keluar dengan tubuh penuh kapuk dan rambut acak-acakan yang dijambak, mereka terlihat mengerikan. Saat pulang mereka berjalan meninggalkan aku jauh sekali, seakan aku tidak berguna dan memang demikian kenyataanya.
Lalu pada suatu pagi ayahku telah ada bersama kami. Aku tidak lagi disiapkan untuk pergi bersekolah seperti biasanya meskipun hari itu bukan hari libur. Kesibukan memenuhi setiap ruangan dalam rumahku. Baju-baju yang terlipat, peralatan rumah tangga, koper, tas dan kardus-kardus besar berjejalan diruangan tengah. Televisi hitam putihku juga telah bergabung dalam tumpukan besar itu. Aku duduk bersama adik perempuanku, masing-masing ditemani segelas teh manis dan sebungkus biskuit oleh-oleh dari ayahku. Sementara Ibu, Bibi, dan Nenekku bergantian memasukkan barang-barang kedalam tempatnya masing-masing. Aku melihat seluruh pakaianku, pakaian adikku, dan beberapa lembar peralatan sholat disesakkan dalam sebuah koper. Aku tidak bertanya, sedang asyik menghabiskan biskuitku dan juga biskuit adikku pada akhirnya (setelah merebutnya sekuat tenaga). Kami akan segera pindah, berangkat mengikuti ayahku ke Bau-bau. SK permohonan pindah tugas ibuku telah disetujui, dan ijasah sekolah TK ku juga telah selesai diurus. Hanya beberapa persiapan saja sebelum kami benar-benar berangkat keesokan harinya. Aku tidak tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu, sepertinya semua biasa saja.
Dan akhirnya siang itu kami telah berkumpul di Pelabuhan. Kapal Motor Imalombasi telah menanti dan barang-barang juga telah dinaikkan. Aku hanya sedikit tersedu ketika kedua kakak sepupuku memelukku dalam tangis, juga pamanku. Mereka tetap di Kendari karena harus melanjutkan study. Lalu aku pun meniti ke atas Kapal. Sebuah kapal kayu dengan dilengkapi mesin motor yang cukup besar, lantai dua.
Aku hanya sesaat memandangi hiruk pikuk dan juga lambaian banyak orang ketika kapal dengan perlahan meninggalkan pelabuhan. Buaian ombak dan teriknya siang membuatku lelah. Akupun akhirnya terlelap, tak lagi menanti senja yang ku sukai,...


***


SEBAIT PUISI SENJA

Senja yang menyambutku terlahir
Senja yang menemaniku bermain
Senja itu merona di Tanukila
Bersatu dengan Kumandang Adzan

***

To Be Continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar