Jumat, 25 Februari 2011

1990 - 1997 (Part I)

Saat manusia mulai dinilai dari prestasinya, maka pada saat itu juga masa kecil itu terambil. Bukankah target dan pencapaian adalah milik mereka yang dewasa. Dan benarlah kiranya jika banyak yang mengatakan bahwa kedewasaan bukanlah usia melainkan pilihan. Pilihan yang kita jatuhkan ketika kita memutuskan untuk memikirkan penilaian orang, pilihan yang kita jatuhkan ketika kita memutuskan akan menjadi apa kita kelak, pilihan yang kita jatuhkan ketika kita memutuskan untuk menjalani semua konsekuensi dari apa yang kita putuskan. Dan kita tidak pernah tahu, kapan kita menjadi dewasa...
____________________________________________________________

KAMAR GELAP KEDIAMAN BARU

Aku melihat lampu berwarna merah, kuning, dan hijau ketika pertama kali menjejakkan kakiku di Kota Bau-bau. Bukan lampu pengatur lalu-lintas, melainkan lampu-lampu hias ruang tunggu pelabuhan. Kami tiba saat mentari belum menyingsing, meskipun semburat fajar telah tersamar dikejauhan. Udara yang berhembus pastinya begitu dingin, namun hawa panas dari pengapnya Kapal yang kami tumpangi masih terasa disekujur tubuhku. Dan kami segera beranjak menuju kediaman kami yang baru di Kota ini, berjejal dengan segala barang bawaan kami dalam sebuah angkutan umum. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya sekitar beberapa ratus meter. Bangunan tersebut adalah sebuah penginapan milik Kantor Ayahku, Baitul Mal namanya. Dan untuk sementara (selama empat tahun lamanya) kami akan menjadikan tempat ini sebagai rumah kami sekaligus mengelola tempat ini.

Secara umum, bangunan ini terbagi atas dua bagian. Bagian depan terdiri atas sebuah ruang tamu yang juga berfungsi sebagai lobby, dua ruang kamar tidur VIP, empat ruang kamar tidur medium, dan sebuah ruangan tengah yang cukup luas dimana terdapat sebuah pesawat telepon dan televisi. Sedangkan bagian belakang merupakan bangunan berlantai dua, yang terdiri atas beberapa kamar yang memanjang, dimana kami akan menempati bagian bawah, sementara lantai atas tetap berfungsi sebagai ruang tamu kelas ekonomi. Diantara kedua bangunan utama ini, terdapat sebuah ruangan yang berfungsi sebagai dapur umum, sumur bor dan tempat mencuci pakaian, kamar mandi, dan tempat terbuka yang didifungsikan sebagai tempat untuk menjemur pakaian.

Kami menempati lima dari enam ruang kamar yang memanjang pada bagian bawah. Sedangkan sebuah ruangan dibiarkan begitu saja. Belakangan aku baru tahu dari ayahku bahwa ruang kamar tersebut memang tidak boleh ditempati. Entah kenapa ruangan tersebut dibiarkan terlantar begitu saja. Beberapa kali ayahku memasang lampu untuk sekedar memberi penerangan, namun hanya dalam beberapa hari, kamar itu kembali gelap dengan sendirinya. Bahkan meskipun pada siang hari kegelapan senantiasa melingkupi ruangan ini. Kami pun menyebut ruangan ini sebagai Kamar Gelap. Namun demikian, kecuali lampu penerangan yang tidak pernah bertahan lama, sepertinya tidak ada yang mistis dari ruangan ini, setidaknya itulah yang aku rasakan. Aku bahkan menjadikan tempat ini sebagai tempat penyimpanan rahasiaku. Tempat untuk menyembunyikan mainan-mainan yang tidak ingin ku bagikan dengan adikku.

Sebagai putra sulung dalam keluargaku, sedikit banyak aku telah diajarkan tanggung jawab sejak dini. Aku telah beri pemahaman bahwa kami tinggal dengan menumpang pada rumah ini, sehingga kami harus senantiasa menjaga kebersihan dan kelangsungan penginapan ini. Meskipun pada tahun-tahun pertama aku belum begitu memahami apa yang dimaksudkan oleh ayahku, namun tidak butuh waktu lama bagiku dalam menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarku, dan hal yang pertama ku sadari adalah "kami merupakan pengelola tempat ini dan tamu adalah raja".

Dua tahun berselang, aku telah terbiasa menerima tamu di Lobby, yang kebanyakan adalah teman sejawat ayahku dari daerah lain dan bertugas sebagai Kepala Urusan Agama. Aku bahkan cukup dekat dengan beberapa di antara beliau, seperti Pak Fachri yang merupakan KUA Kec. Poleang dan Pak Djamaluddin yang merupakan KUA Kec. Tomia. Mereka bertugas pada kecamatan-kecamatan lain, yang terpisah pulau dengan tempat kami. Sehingga, setiap awal bulan, mereka harus menyebrang ke Kota Bau-bau sekedar untuk mengambil gaji mereka. Acapkali mereka membawakan sesuatu untukku sebagai oleh-oleh jika mereka berkunjung, kebanyakan berupa kue gula kelapa atau buah salak.

Aku terkadang juga bertugas membersihkan ruangan kamar jika para tamu hendak check in atau baru saja check out. Demikian juga dengan pembayaran biaya penginapan. Ketika itu tarif bagi penyewa umum untuk Kamar VIP seharga Rp. 5000, Kamar Medium seharga Rp. 2.500 , dan seharga Rp. 1.500 untuk kamar ekonomis per malamnya. Sedangkan bagi Pegawai Negeri Departemen Agama dikenai tarif Gratis atau seikhlasnya. Hasil dari tarif penginapan ini digunakan untuk memenuhi biaya operasional penginapan, pemeliharaan, dan sebagian dimasukkan sebagai kas Baitul Mal.

Beberapa kali kami juga menerima kunjungan para padagang dari luar daerah. Kebanyakan dari mereka menjual obat alternatif, dan jika sedang menjajakan dagangannya juga mempertunjukkan kemampuan atraksi sulap atau menunjukkan hewan-hewan buas peliharaan mereka, untuk menarik minat pembeli. Ibuku selalu melarangku untuk bergaul dengan orang-orang ini, kata ibuku mereka bisa saja menculikku atau mengajariku hal yang buruk. Sekali waktu, karena penasaran, aku mencoba beramah tamah dengan salah seorang diantara mereka. Dan benar saja, orang itu kemudian membawaku ke kamarnya dan bermaksud mengajariku cara memegang Ular Phyton peliharaannya. Baru saja mengeluarkan Ular Phyton tersebut dari petinya, aku langsung berteriak dan lari tunggang langgang demi melihat besarnya ukuran ular tersebut. Ibuku langsung meminta orang itu pergi, meski telah menerima begitu banyak permintaan maaf dan penjelasan bahwa ia tidak bermaksud buruk dan ular tersebut telah sangat jinak. Aku sedikit merasa bersalah, karena ku pikir rasa takutku lah yang menyebabkan itu semua, dan lagi orang itu telah menjadi langganan kami sekian lama. Tapi aku memang terlalu takut saat itu.

Sekali waktu kami juga kedatangan tamu dari Korea Selatan yang kebetulan pemandunya adalah kenalan pamanku. Mereka sungguh ramah dengan kemampuan bahasa Indonesia yang jauh dari baik. Seringkali mereka hanya mengucapkan "Haro, bore minda boiling water buat masa mie" dan kami pun mahfum jika mereka ingin meminta Air Panas untuk memasak Mie. Ketika meninggalkan penginapan kami, mereka memberiku sekarton Mie dari Korea dan beberapa kaleng minuman Coca Cola. Ayahku lantas melarang kami mengkonsumsi mie tersebut karena khawatir memiliki kandungan babi, sedangkan minuman tersebut telah sempat ku sembunyikan dalam kamar gelap.

Pernah juga kami menerima kunjungan seorang petualang bernama Tukimin yang berasal dari Lampung. Ia bermaksud menjelajahi Indonesia dengan berjalan kaki. Rambutnya panjang dan wajahnya sungguh garang dengan mata sipit serta kumis dan jenggot yang menjuntai. Namun ia sungguh ramah dan murah senyum. Kata ayahku dia memiliki kemampuan khusus melebihi manusia biasa. Ia tinggal sekitar sebulan bersama kami sebelum melanjutkan petualangannya. Beberapa bulan kemudian ia mengirimkan sebuah edisi koran yang memuat gambar dan kisah petualangan dirinya mengelilingi Indonesia dengan berjalan kaki.

Dari kehidupan kami mengelola penginapan inilah aku mendapatkan banyak pelajaran dengan bertemu banyak orang. Hal ini juga sedikit banyak mempengaruhi kepribadianku dan mengikis sifat pemalu dan kikuk saat bertemu orang asing.





to be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar