Jumat, 25 Februari 2011

1990 - 1997 (Part II)

Suatu waktu Kerajaan Laut dan Kerajaan Darat berseteru, hal yang menyebabkan terjadinya bencana luar biasa di Bumi kala itu. Laut dan Darat berupaya untuk saling mengklaim dan menguasai teritorial masing-masing. Daratan berupaya penuh untuk menimbun memenuhi lautan dengan unsurnya, dan demikian pula sebaliknya, Lautan dengan amarahnya berupaya memperluas wilayahnya dengan membanjiri daratan. Ketika alam semakin porak poranda, maka datanglah keajaiban tersebut. Dengan segala keindahannya, Pantai hadir menjadi penengah, mempesona Kerajaan Darat dan Kerajaan Laut, mengikis amarah diantara keduanya, dan dengan kelembutannya yang abadi mengukir panorama alam yang menenangkan.
___________________________________________________________________

PANTAI YANG TERKUBUR

Dua tahun berselang setelah kami menetap di Kota Bau-bau, aku pun semakin terbiasa dengan lingkunganku yang baru. Memulai pergaulanku dengan anak-anak disekitar tempat tinggalku dan membangun kembali dunia masa kecilku yang lain.

Penduduk dilingkungan kami juga cukup Heterogen yang memadati salah satu pusat Kota. Berada diantara Pelabuhan dan Pusat Perdagangan (Pasar Sentral) kompleks kami menawarkan jenis aktivitas yang sedikit berbeda, yakni didominasi oleh Permukiman dan Jasa Perhotelan/Penginapan (tentunya termasuk yang kami tempati). Sebut saja Hotel Liliana, Hotel Deborah, dan penginapan dengan Office Boy terbaik (It's me) saat itu Baitul Mall. Sehingga orang-orang asing banyak berseliweran disekitar kami, sebagian besar merupakan pedagang dari luar daerah.

Hanya berjarak beberapa puluh meter, melalui dua kelokan jalan ke arah selatan, Selat Buton akan menyambut dengan Pantai dan Lautnya yang tenang. Diapit oleh dua pelabuhan utama pada saat itu, Pelabuhan Murhum disebelah Barat dan Jembatan Batu disebelah Timur, Buton Beach dengan hamparan pasirnya yang sederhana dan bercak-bercak tumpahan minyak pelumas dari beberapa bangkai kapal karam mengahadirkan pemandangan tersendiri. Menurut orang-orang (sebagian diantaranya para ahli) tempat kami sangat strategis menjadi pelabuhan transit, oleh karena perairannya yang cukup teduh. Selain karena berhadapan dengan selat Buton, pelabuhan-pelabuhan ditempat kami juga memiliki beberapa pulau pelindung, termasuk Pulau Muna dan Pulau Makassar (Catatan : Pulau Makassar disini yang dimaksud berbeda dengan Kota Makassar yang merupakan Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan itu, melainkan sebuah pulau kecil yang pada jaman Kesultanan merupakan tempat pengasingan sisa-sisa pasukan Makassar yang kalah dalam pertempuran dengan Kesultanan Buton). Oleh karenanya, hampir sepanjang waktu, perairan ditempat kami senantiasa tenang dan menjadi tempat berlabuh banyak kapal-kapal dagang.

Kembali pada Buton Beach (tempat yang kemudian jarang diketahui orang), ditempat ini aku dan kawan-kawan baruku sering menghabiskan sore hari. Aku, Adi Kurus, dan Deden seringkali bermain sepanjang sore hari, meskipun saat itu belum ada satu pun diantara kami yang mampu berenang. Karena itulah, sebenarnya bermain ditempat ini berada diurutan teratas daftar larangan dari orang tua kami. Tentunya, kawan-kawan sekalian dapat mengerti bahwa untuk anak-anak seusia kami, resiko tenggelam merupakan ancaman yang cukup besar. Namun dengan menjunjung tinggi semboyan "Nenek Moyangku Seorang Pelaut", maka tempat ini merupakan tujuan utama kami setiap kali ada kesempatan. Dan untuk mengantisipasi kemungkinan diketahui oleh pihak berwajib (orang tua dengan segala ancaman hukuman yang mungkin akan dijatuhkan) maka kami pun selalu mandi dan bermain air dalam keadaan telanjang bulat (demi sopan santun, please jangan dibayangkan). Setelah puas bermain, dengan badan menggigil kami akan mengeringkan tubuh sebelum mengenakan kembali pakaian kami. Sebenarnya jika sedikit teliti, kulit dengan bercak garam, mata merah, dan rambut yang lembab akan menggugurkan alibi baju kering dibadan tersebut. Namun nyaris tidak pernah sekalipun aku dihukum karena bermain dipantai, entah karena tidak ketahuan atau mungkin karena selalu saja aku pulang dalam keadaan selamat.

Jika dipikir lagi, sebenarnya hanya sedikit permainan yang dapat dilakukan d Pantai Dangkal ini, selain berpura-pura lomba renang dengan kaki menjejak sekuat tenaga dan tangan menghentak-hentak tanpa tujuan, kami terkadang berusaha melakukan penelitian kecil-kecilan mengenai habitat kepiting yang hidup liar ditepi pantai.Selain menaburkan ampas kelapa untuk memancing hasrat si kepiting menunjukkan diri, acap kali kami juga menggunakan cara-cara yang lebih ramah yakni menggali lubang tempat tinggal sang kepiting dengan menggunakan tempurung kelapa. Jika bosan, maka perahu yang ditambat diperairan yang dangkal akan menjadi tujuan kami selanjutnya. Disni kami akan memulai perang antara bajak laut kapten hook melawan peter pan yang banyak diisi adegan berbahaya gerakan melompat kedalam air dengan gerakan membuang diri. Yah, hal-hal seperti inilah yang banyak mengisi hari-hari kami.

Malam harinya, tempat ini akan sangat ramai dikunjungi oleh muda-mudi yang memadati tenda-tenda penjaja minuman sarabba dan beraneka macam gorengan. Awalnya, pedagang disini merupakan hanya beberapa pedagang kaki lima yang mendapat bantuan dari Bank Rakyat Indonesia (terlihat dari logo BRI yang terdapat pada rombong dan tenda PKL) namun kemudian semakin ramai dari waktu kewaktu. Kami sering pula duduk-duduk ditempat ini untuk memperhatikan muda-mudi yang entah mengapa senantiasa menggenggam tangan satu sama lain dan berbicara sangat dekat dengan kuping masing-masing bahkan sekali-sekali hingga menyentuh telinga atau pipi, sungguh kelakuan yang aneh. Terkadang kami juga mencoba merangkai gugusan bintang-bintang menjadi pola tertentu, seperi formasi kepiting, atap rumah, atau layang-layang sambil tidur-tiduran diatas perahu yang ditambat.

Demikianlah waktu terus berlalu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun berganti.., tahun-tahun berikutnya. Bahkan meskipun kami telah pindah dari kompleks ini, beberapa kali aku menyempatkan diri bermain ke tempat ini.

Pada awal tahun 2003, sebuah project pembangunan Kawasan Publik memilih tempat ini sebagai lokasi pembangunannya. Pembangunan Ruang Publik yang kemudian dikenal dengan nama "Pantai Kamali" ini dibangun diatas lahan yang merupakan reklamasi dari Buton Beach.

Reklamasi yang menggusur habitat para kepiting, menyingkirkan bangkai-bangkai kapal karam, dan mengubur sejumput kenangan masa kecilku...

PANTAI KAMALI, DAHULU DIKENAL DENGAN SEBUTAN BUTON BEACH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar