Ketika kecil saya pernah percaya, bahwa orang Indonesia itu terkenal karena keramahannya. Dan saya bangga menemukan diri saya ternyata adalah orang Indonesia. Saya pun berusaha mendidik diri saya untuk menjadi orang Indonesia yang ramah itu. Menyapa orang lain dengan ramah, menghargai orang yang lebih tua, menjawab pertanyaan seseorang sembari tersenyum, melembutkan suara ketika bertutur kata, dan memilah ucapan ketika berdiskusi. Saya sangat berharap dapat menjadi representasi dari orang Indonesia yang ramah.
Lantas saya menemukan diri saya saat ini. Dan mungkin juga anda akan menemukan diri anda sendiri diseberang sana. Menjadi sedikit berbeda dengan alur kisah diatas. Kita tentu saja tetap orang Indonesia. Setidaknya KTP dan Domisili saya senantiasa konsisten berlabel warga negara Indonesia. Tetapi dimana keramahan yang dulu saya cita-citakan menjadi identitas saya? Sejujurnya, belakangan ini saya menjadi sedikit pemarah. Entah bagaimana dengan anda, saya justru berharap anda akan sama halnya dengan saya, menjadi seorang yang marah.
Biarkan saya mengingat sejenak, mengapa saya menjadi pemarah seperti saat ini. Mungkinkah karena melihat penegakan hukum yang tebang pilih dan sering kali di politisir? Mungkinkah karena melihat banyaknya rakyat miskin yang dirampas haknya dan tidak mendapat keadilan? Mungkinkah melihat gejolak PSSI yang mengkhianati aspirasi pencinta sepakbola seperti saya ini? Mungkinkah karena film Hollywood yang berkualitas itu akan sirna dari Bioskop Tanah Air? Mungkinkah karena kasus bernuansa SARA yang akhir-akhir ini semakin merebak? Mungkinkah karena biaya hidup yang semakin mencekik? Mungkinkah karena kasus Munir, Century, dan Gayus terpendam entah kemana? Mungkinkah karena idola saya justru bertindak Asusila? Entahlah, semua pertanyaan ini sangat mungkin membuat saya marah. Dan saya merasa kemarahan adalah bentuk emosi yang wajar untuk merespon kenyataan ini.
Lalu saya menemukan kemungkinan yang paling memungkinkan menjadi penyebab kemarahan saya. Mungkin saya marah, karena saya terlalu mencintai Bangsa Indonesia ini? Mencintai karakteristik Bangsa Indonesia yang ramah, yang sejak kecil telah terpatri dalam benak saya. Mencintai begitu berharga menjadi anak Bangsa. Dan lantas menjadi ironi ketika berhadapan dengan potret Bangsa saat ini.
Tetapi sejenak saya bertanya lagi. Apakah ingatan saya perihal karakter Bangsa Indonesia yang ramah itu benar adanya?
Bukan tidak mungkin bahwa sejak dahulu tidak ada yang namanya Ramah dalam kepribadian Bangsa Indonesia itu. Mungkin sejatinya bukanlah Ramah, tetapi Marah. Bisa saja saya telah salah mengejakannya. Atau si penulis karater bangsa Indonesia itu yang salah mengetikkannya.
Ramah atau Marah...??? Yang manakah karakter bangsa Indonesia sebenarnya?
Sepertinya lebih banyak orang Indonesia yang Marah ketimbang yang Ramah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar