Jumat, 25 Februari 2011

1985 - 1990 (Part III)

Hanya ada wajah-wajah ceria.., dan semua orang menatapmu penuh kasih. Ketika menginginkan sesuatu, cukup dengan meminta, maka semua akan memberi yang terbaik. Tidak ada resah akan hari esok, akan beban hidup dan keinginan untuk menjawab tantangan dunia. Hanya pada masa kecil, semua terlihat sempurna, wajar dan apa adanya. Andai waktu tak perlu beranjak maju, atau sekedar kembali sejenak, menghirup energi positif dari miliaran perhatian dan perlindungan.

________________________________________________________________

GAJAH BERTARUNG DENGAN GAJAH, PELANDUK MATI DITENGAH-TENGAH

Menangis.., itu yang ku lakukan hampir setiap pagi, ketika ibu ku membangunkan aku dan menyeretku ke kamar mandi. Memandikanku dengan tergesa-gesa, mengeringkan badanku, dan memakaikan seragam putih hijau. Aku telah duduk di bangku TK, kelas nol besar (untuk penamaan ini sebenarnya saya kurang setuju, seakan-akan seorang anak Indonesia tidak memiliki bakat atau kemampuan apapun..., bayangkan, Nol Besar..!!! sungguh merendahkan). Rambutku dilumuri tancho, milik pamanku, disisir kesamping persis seperti bapak Harmoko, Menteri Penerangan yang kesohor itu. Setelah dipaksa memakan sepiring bubur putih yang diberi santan, kami menyebutnya bubur santan, aku dan ibuku harus berjalan 200 m untuk menyetop angkutan umum, jarak yang sangat jauh menurutku. Dan ini harus ku jalani setiap pagi, kecuali hari minggu tentunya, oleh karena ibuku yang mengajar sebagai guru SD, tanpa seijinku, memasukkan aku ke TK Lepo-lepo yang jaraknya setengah jam perjalanan menggunakan Pete-pete (sebutan angkutan umum di Kendari). Sementara ayahku yang juga pegawai rendahan, bekerja pada Kantor Pemerintahan yang arahnya berlawanan. Jadilah aku dan ibuku sehari-harinya berangkat pagi-pagi buta. Kadang jika terlalu cepat, setibanya di sekolah, hanya ada aku dan penjaga sekolah, sementara ibuku harus ke Sekolah Dasar tempatnya mengajar yang jaraknya masih sekitar 50m dari TK ku...

Aku menjalani masa-masa di sekolah TK ini selayaknya anak-2 lain pada umumnya. Bergembira, bernyanyi-nyanyi, berbaris, berolahraga, menggambar, mengeja huruf yang di gambar sebesar kertas A4, dan lain sebagainya. Membaca termasuk yang paling ku senangi, karena aku yang terbaik dalam hal ini..,hehehe... Dari sekian banyak teman semasa TK aku hanya bisa mengingat Rudi dan Yono, keduanya sering menemaniku bermain bertiga setelah jam pelajaran usai dan ibuku terlambat menjemput. Hanya saja sepertinya sekarang tidak mudah mengenali wajah keduanya. Seingatku Yono berambut ikal (sepertinya berasal dari Jawa) dan Rudi rambutnya seperti landak, tajam dan berdiri tegak juga bermata sipit.

Pada hari Sabtu tibalah saatnya makan-makan. Setiap anak diharuskan membawa bekal dari rumah. Ditaruh didalam Kotak makanan dan dilengkapi sebotol minuman. Setelah senam pagi, makanan baru boleh di santap. Aku lupa bentuk dan warna kotak makananku, tetapi botol minumanku berbentuk robot, berwarna abu-abu, dengan kepala robot sebagai tutup botol dan antena yang juga berfungsi sebagai sedotan. Hari Sabtu juga hari yang tepat untuk menunjukkan eksistensi, tentunya dengan bersaing bekal siapa yang paling nikmat, kotak makanan siapa yang paling bagus, botol minuman mana yang paling unik, dan lain sebagainya. Meskipun biasanya, hal yang ditonjolkan yang itu-itu saja. Terkadang ada juga yang membawa mainan barunya, mobil-mobilan, robot, dan sebagainya. Hanya untuk ditunjukkan, atau dipinjamkan pada teman-teman dekat saja. Yang lain, boleh melihat dalam batas jarak aman yang ditentukan. Hari Sabtu sungguh hari yang menyenangkan.

Pada hari sabtu ini juga pertama kali aku ditunjukkan sesuatu tentang dunia. Bahwa setelah dewasa nanti, persaingan akan semakin besar, dan pertaruhannya juga semakin gila. Manusia dapat saling menyakiti, demi terpenuhinya tujuan pribadinya sendiri. Hari itu Aku, Yono dan Rudi sedang bermain didepan sekolah, jam pelajaran telah berakhir, dan ibuku belum datang menjemput. Tiba-tiba saja terdengar teriakan dan beberapa orang lelaki remaja berlari kearah kami. Sepertinya mereka sedang tawuran, sesuatu yang sangat sering terjadi ditempat kami.., tawuran massal antar Lorong, mungkin terinspirasi adegan-adegan film Action Mandarin yang saat itu sedang jaya-jayanya. Terperangkap ditengah-tengah perkelahian, kami hanya bisa menangis dan berteriak-teriak. Tidak ada yang dapat ku ingat dengan jelas. Yang pasti saat itu aku bertabrakan dengan seorang remaja yang sedang berlari, aku terjatuh, dan lutut kecilku terinjak olehnya, sakitnya bukan kepalang, aku menangis semakin keras. Lalu si penjaga sekolah datang dan mengevakuasi kami bertiga yang ketakutan, aku dipanggul, Yono mengikutiku, dan Rudi berlari pulang ke rumahnya.

Singkat cerita, aku pun pulang bersama ibu ku, lututku sepertinya patah, terlihat membengkak dan luka memar. Ayahku murka, ibuku bingung, Paman dan Kakakku juga bingung, aku menangis lagi, ketakutan dan kesakitan. Sorenya aku langsung di bawa oleh ayahku pada seorang dokter. Dokter Tani namanya, seorang spesialis anak. Lututku di periksa dengan seksama, namun sepertinya tidak ada yang patah atau retak, hanya urat yang keseleo. Ayahku pun memutuskan untuk membawaku pada seorang tukang pijat. Sebelumnya kami singgah di sebuah toko kue. Ayahku membelikan sekantong roti yang besar-besar, berbentuk bulat, berwarna putih bersih dan hangat. Belakangan baru ku ketahui, kalau itu adalah Kue Bakpao. Cukup manjur untuk menyenangkan hatiku.Ketika dipijat sakitnya minta ampun. Gigitan pertamaku pada bongkahan roti itu, bertahan hingga proses pengobatan tradisional ini selesai, tidak mampu ku lanjutkan, apa lagi menelan. Sungguh menyiksa..., aku menangis hingga ketiduran. Pengalaman yang buruk.

Aku ingat beberapa kali ibuku juga membawaku ke sekolah tempatnya mengajar. Dan murid-muridnya menyambutku dengan antusias, seorang anak ibu guru yang lucu dan imut. Beberapa diantaranya mencoba menyapaku, juga mengulurkan salam, memandangku dan tertawa-tawa, aku bersembunyi di balik rok ibuku (jujur saja waktu kecil dulu aku sangat pemalu kawan). Biasanya aku dibawa masuk kedalam kelas, menunggu ibuku selesai mengajar. Sering kali aku didudukkan diatas meja, dan diingatkan untuk tidak bergerak agar tidak terjatuh, juga diharuskan diam sehingga tidak mengganggu ibuku mengajar. Jadilah aku duduk membisu sepanjang waktu, seperti patung yang ditaruh diatas meja namun dengan mata yang terus memandang keseluruh ruangan kelas, mengawasi dengan malu-malu. Untuk yang satu ini ibuku sering menceritakannya setelah aku dewasa, dan karena sangat penurut ibuku makin sering membawaku ke dalam kelasnya.

Dan hal yang paling indah dalam kenanganku adalah ketika hari anak nasional. Aku didandani dengan pakaian adat, lengkap dengan pedang kecil yang terbuat dari kayu dan dilapisi kertas emas, buatan tangan ayahku. Berjalan dalam barisan bersama anak-anak lainnya menuju Kantor Gubernur. Disana akan diadakan upacara dan penyerahan hadiah. Aku salah satu diantaranya yang akan menerima hadiah itu, buah dari prestasiku menyabet juara harapan satu lomba lukis. Aku didampingi ibu dan Kepala Sekolah TK ku. Pada saat menerima hadiah, kami ditanya tentang cita-cita kelak setelah besar, dan dari Juara satu hingga juara harapan dua, termasuk aku, kelimanya menjawab jika besar akan menjadi seorang pelukis. Pulang dari event Hari Anak Nasional ini, kami ke Studio Photo. Aku dipotret dengan pakaian adat lengkap. Salah satu photo koleksiku yang terbaik. Potret seorang anak yang patuh, dengan senyum yang kikuk dan sorot mata yang polos.

3 komentar:

  1. Penasaran lukisan mu dulu Bang .
    Gunung dengan matahari dan pohon kelapa raksasa kah ? :D

    BalasHapus
  2. Bukan, aku dulu kalau menggambar mesti Gajah ama Jerapah lagi nyari makan di pinggir Sungai ato Padang Rumput,... Juaraaa,.. :-D

    BalasHapus
  3. gambar yang unik , pantes menang ..pesertanya satu doang ?

    BalasHapus