26 Januari 2011,... Sore ini kabar duka menghampiri. Nenek, ibu dari ayahku, menghembukan nafas terakhirnya. Meninggalkan kami selama-lamanya. Semoga amal ibadahnya di terima Allah SWT.
Tidak banyak memori yang bisa ku ingat dari sekian tahun bersamanya. Nenek bahkan sangat jarang bisa mengingat siapa aku sebenarnya. Maklum saja, beliau mengalami pukulan yang begitu besar sejak kehilangan anaknya dalam waktu yang hampir bersamaan. Dari cerita yang ku dengar, ayahku memiliki dua saudara laki-laki dan dua saudari perempuan. Tetapi ke empatnya meninggal, hingga menyisakan ayahku saja. Sejak itu nenek mengalami depresi yang dahsyat, ayahku yang saat itu masih balita juga kabarnya sempat ditelantarkan, karena nenek begitu meratapi kehilangan anaknya. Putra Sulungnya bahkan meninggal tepat di hari pernikahannya. Hal inilah yang memberikan tekanan jiwa yang mendalam bagi Nenek. Depresi berat itu pun tidak pernah lagi pulih seutuhnya. Nenek tidak pernah lagi bangkit dari kenangan sedihnya selama bertahun-tahun selanjutnya.
Tidak banyak memori yang bisa ku ingat dari sekian tahun bersamanya. Nenek bahkan sangat jarang bisa mengingat siapa aku sebenarnya. Maklum saja, beliau mengalami pukulan yang begitu besar sejak kehilangan anaknya dalam waktu yang hampir bersamaan. Dari cerita yang ku dengar, ayahku memiliki dua saudara laki-laki dan dua saudari perempuan. Tetapi ke empatnya meninggal, hingga menyisakan ayahku saja. Sejak itu nenek mengalami depresi yang dahsyat, ayahku yang saat itu masih balita juga kabarnya sempat ditelantarkan, karena nenek begitu meratapi kehilangan anaknya. Putra Sulungnya bahkan meninggal tepat di hari pernikahannya. Hal inilah yang memberikan tekanan jiwa yang mendalam bagi Nenek. Depresi berat itu pun tidak pernah lagi pulih seutuhnya. Nenek tidak pernah lagi bangkit dari kenangan sedihnya selama bertahun-tahun selanjutnya.
Dari kisah-kisah yang pernah ku dengar, Nenek dahulunya adalah seorang Kembang Desa. Beliau adalah seorang penari. Pada masa itu, tarian masih merupakan sesuatu yang mistis dan dibawakan dalam upacara-upacara adat tertentu. Namanya adalah "Pande Sajo". Berbeda dengan penari jaman sekarang, yang banyak membentuk Girlband dan semakin jauh dari kebudayaan dan kepribadian bangsa. Menurut para tetua desa ketika pada suatu saat datang mengunjunginya, nenek sangat mahir dan menguasai beberapa jenis tarian. Beliau juga sempat menjadi guru tari sebelum musibah kematian putra-putrinya itu terjadi. Bahkan dimasa tuanya, Nenek juga kerap mempraktekan kemampuannya. Jari-jarinya lentik dan gerakannya anggun. Jari-jari lentik itu bahkan menurun kepadaku. Menjadi aneh memang, seorang laki-laki dengan jari-jari yang lentik. Tapi biarlah, menyenangkan bisa mewarisi sesuatu dari beliau, dan lagi pula aku bukan penari, setidaknya sampai saat ini. Meskipun demikian, setiap melihat jariku sendiri, aku selalu teringat pada Beliau. (*Hening Sejenak)
Setelah kejadian meninggalnya anak-anak beliau, saudara-saudari ayahku, semua berjalan sulit. Nenek yang tidak lagi mampu melakukan kegiatan secara normal kemudian harus selalu diasuh dan dijaga oleh Mendiang Kakekku (semoga beliau juga mendapat tempat yang indah bersama-sama). Kakek secara de facto menjadi single parents. Bahkan harus mengurusi ayahku yang masih balita dan Nenek yang mengalami tekanan jiwa.
Aku mengenang Nenek sebagai sosok yang pemarah. Entahlah, beliau selalu saja berteriak-teriak jika menginginkan sesuatu. Aku sebenarnya takut berada didekatnya. Saat pertama kali tinggal bersama kami, aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Nenek selalu saja memarahi Ayah. Nenek hanya terlihat bahagia jika Lebaran Idul Fitri tiba. Beliau akan mengenakan pakaian terbaiknya, juga selendang, dan menarikan beberapa tarian. Saat itu nenek akan bercerita tentang masa lalunya, lebih banyak mengenai anak sulungnya, yang menurut beliau masih hidup dan menantikan pernikahannya.
Setelah saya melanjutkan studi di Malang, menemui Nenek pada saat pulang mudik menjadi sesuatu yang benar-benar menyenangkan. Setelah beranjak dewasa, nenek justru mengira saya adalah anak sulungnya, mungkin wajah saya mirip. Beliau selalu memanggil saya dengan nama anak sulungnya, dan entahlah, meskipun aneh tetapi itu justru menyenangkan buatku. Seperti menjadi seseorang yang berharga buat beliau. Demikian pula ketika berpamitan untuk kembali ke Malang, selalu saja ku minta untuk menantiku hingga Lebaran berikutnya. Sekedar untuk sungkem dan meminta maaf. Dan lebaran yang lalu, aku mengingkari janji itu. Beberapa pekerjaan membuatku tidak bisa mudik kembali ke Sulawesi. Dan sepertinya nenek memutuskan untuk tidak menungguku lagi. (*Hening Lagi)
Penyesalan mungkin ada, namun moment itu tidak akan mungkin kembali lagi. Tapi keikhlasan adalah bagian dari do'a kita untuk melapangkan jalan mereka. Kematian pasti akan menghampiri kita semua. Biarlah do'a-do'a kami yang menemani perjalanan itu. Sampai jumpa di Hari Kebangkitan. Jari lentik ini akan selalu menjadi pengingatku. Goodbye Dancing Queen, Selamat Beristirahat. Semoga di terima disisi Sang Pencipta. Innalillahi wa Innailaihi Roji'un. ***
In Memories
Setelah kejadian meninggalnya anak-anak beliau, saudara-saudari ayahku, semua berjalan sulit. Nenek yang tidak lagi mampu melakukan kegiatan secara normal kemudian harus selalu diasuh dan dijaga oleh Mendiang Kakekku (semoga beliau juga mendapat tempat yang indah bersama-sama). Kakek secara de facto menjadi single parents. Bahkan harus mengurusi ayahku yang masih balita dan Nenek yang mengalami tekanan jiwa.
Aku mengenang Nenek sebagai sosok yang pemarah. Entahlah, beliau selalu saja berteriak-teriak jika menginginkan sesuatu. Aku sebenarnya takut berada didekatnya. Saat pertama kali tinggal bersama kami, aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Nenek selalu saja memarahi Ayah. Nenek hanya terlihat bahagia jika Lebaran Idul Fitri tiba. Beliau akan mengenakan pakaian terbaiknya, juga selendang, dan menarikan beberapa tarian. Saat itu nenek akan bercerita tentang masa lalunya, lebih banyak mengenai anak sulungnya, yang menurut beliau masih hidup dan menantikan pernikahannya.
Setelah saya melanjutkan studi di Malang, menemui Nenek pada saat pulang mudik menjadi sesuatu yang benar-benar menyenangkan. Setelah beranjak dewasa, nenek justru mengira saya adalah anak sulungnya, mungkin wajah saya mirip. Beliau selalu memanggil saya dengan nama anak sulungnya, dan entahlah, meskipun aneh tetapi itu justru menyenangkan buatku. Seperti menjadi seseorang yang berharga buat beliau. Demikian pula ketika berpamitan untuk kembali ke Malang, selalu saja ku minta untuk menantiku hingga Lebaran berikutnya. Sekedar untuk sungkem dan meminta maaf. Dan lebaran yang lalu, aku mengingkari janji itu. Beberapa pekerjaan membuatku tidak bisa mudik kembali ke Sulawesi. Dan sepertinya nenek memutuskan untuk tidak menungguku lagi. (*Hening Lagi)
Penyesalan mungkin ada, namun moment itu tidak akan mungkin kembali lagi. Tapi keikhlasan adalah bagian dari do'a kita untuk melapangkan jalan mereka. Kematian pasti akan menghampiri kita semua. Biarlah do'a-do'a kami yang menemani perjalanan itu. Sampai jumpa di Hari Kebangkitan. Jari lentik ini akan selalu menjadi pengingatku. Goodbye Dancing Queen, Selamat Beristirahat. Semoga di terima disisi Sang Pencipta. Innalillahi wa Innailaihi Roji'un. ***
In Memories
Sitti Sapiah,... Safiyyah,... Sofia,... Love,...Cinta,....
Our Beloved Grand Ma,......